Thursday, September 24, 2015

Kegunaan Sekolah di Era Pragmatisme

Menurut Anda, apa gunanya Anda bersekolah?


Saya yakin, kalau Anda ditanya seperti itu, jawaban Anda adalah: untuk menggapai cita-cita, untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan jawaban lain yang mirip.

Pada tahun 1980-an sampai 1990-an, jawaban tersebut masih relevan, karena paradigma pendidikan saat itu adalah "pendidikan sebagai bekal untuk mendapatkan pekerjaan". Lebih sederhana, bersekolah itu gunanya adalah untuk mendapatkan ijasah untuk lolos tes lamaran kerja.

Paradigma tahun 2000-an ke atas sudah sangat berubah. Menjadi pegawai perlahan-lahan mulai dianggap sebagai sebuah "kehinaan", karena kita harus ikut apa kata atasan. Paradigma pendidikan tahun 2000-an sudah mulai mengarah kepada munculnya enterpreneur, juga banyaknya pekerjaan alternatif selain pekerjaan yang "ijasah-minded", yang pendapatannya dapat lebih besar daripada pekerjaan yang "ijasah-minded" tersebut.

Paradigma berpikir yang baru ini kelihatannya berjalan beriringan dengan cara berpikir pragmatis di kalangan siswa sekolah. Banyak siswa sekolah yang beranggapan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang tidak relevan dengan cita-cita mereka, apalagi cita-cita untuk menjadi enterpreneur, atau pekerjaan-pekerjaan alternatif, seperti misalnya menyanyi, itu tidak perlu mereka ingat-ingat sampai tua.

Lihat saja beberapa liputan di TV yang sering kita lihat tentang bagaimana generasi muda saat ini banyak yang tidak hafal lagu "Indonesia Raya", sebuah lagu yang ketika tahun 1980-an dapat membuat Anda tidak naik kelas jika tidak dapat menyanyikannya :)

Contoh terbaru (September 2015) adalah tweet seorang yang katanya adalah seorang artis ( identitas saya sensor) seperti ini:



                                          



Bukankah ini adalah pengetahuan paling dasar waktu tahun 1980-an sampai 1990-an, yang bisa membuat kita tidak naik kelas kalau tidak tahu? Sudah bisa ditebak, komentar-komentar dari para eks-siswa 1980-an dan 1990-an seperti apa. Akun ini di-bully. "Pengetahuan dasar saja tidak tahu.", "Bego", dan sumpah serapah lainnya. Ya seperti itulah bentuk umpatannya.

Ya, ini sebenarnya adalah situasi yang sangat menyedihkan. Tetapi dari kacamata pragmatisme, ini masuk akal, terutama jika kita mengaitkan urgensi pengetahuan dasar ini terhadap potensi penghasilan di masa depan. Pertanyaan-pertanyaan berikut sering didengungkan di era pragmatisme seperti sekarang ini:

1) Apakah tahu arti Tut Wuri Handayani dengan benar akan membuatmu kaya? 

                        Ternyata tidak. 

2) Apakah fasih menyanyikan lagu "Indonesia Raya" akan membuatmu terkenal? 

                         Tidak juga. 

Lalu apa gunanya kita habiskan space otak untuk hafalan-hafalan seperti itu? Lebih fundamental, apa gunanya kita sekolah kalau apa yang bisa kita raih itu bisa didapat tanpa ilmu-ilmu dari sekolah?

Untuk era pragmatisme ini, jawaban saya simple kok: supaya Anda tidak terlihat bego di pergaulan yang lebih luas, terutama jika Anda seorang public figureTerus terang, lingkungan kerja Anda, apapun pekerjaan Anda, masih diisi dengan orang-orang keluaran pendidikan masa Orde Baru, yang notabene kebanyakan sangat fasih pengetahuan-pengetahuan mendasar seperti itu. Ingat, persepsi kolega dan konsumen kepada Anda sangat penting. Anda dapat kehilangan income ketika persepsi orang terhadap Anda jelek.

Okelah, Anda tidak perlu fasih tentang Hukum Newton atau teori-teori termodinamika. Tetapi jika Anda ketahuan tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya, sementara Anda sudah dari lahir tinggal di Indonesia, dan ternyata Anda punya ijasah S-1, saya akan berpikir: "Anda itu tahunya apa sih?"

Silakan menjadi artis, public figure, pengusaha, atau apapun. Akan tetapi, akan lebih baik jika Anda juga memiliki pengetahuan dasar yang baik untuk dapat menarik simpati kolega-kolega yang berpengaruh ke mata encaharian Anda. Kasihan sekali jika Anda terkenal karena kebegoan Anda. Apalagi jika  pembelaan Anda ketika dibully menjadi selucu ini:




Lha kalo menjadi bego bisa mendatangkan uang banyak, kenapa harus sekolah? Kenapa harus pintar?

Ya kalau itu saya sudah tidak bisa menjawab :)

Silakan menjadi bego, karena menjadi bego itu hak asasi manusia :D

Tuesday, June 30, 2015

Memegang teguh idealisme?

Ketika ada orang menyebut dirinya seorang penyayang binatang, saya langsung menduga bahwa dia vegetarian. Kenapa? Penyayang binatang kok. Pasti gak makan makanan yang berasal dari binatang. Tapi nyatanya, dia makan ayam geprek di kantin kampus! Lha, ayam itu binatang bukan?

Ketika ada orang menyebut dirinya humanis, saya langsung menduga bahwa dia  anti pembunuhan manusia dan menghormati hak-hak asasi manusia. Well, ketika undang-undang pernikahan untuk LGBT disahkan di Amerika Serikat, dia mendukung setengah mati. Tetapi ketika ada korban perang anak-anak di Timur Tengah, dia diam saja.

Ketika ada orang menyebut dirinya religius, paham isi kitab suci, paham isi kitab-kitab selain kitab suci. Sudah berguru agama dari guru-guru agama dari seluruh dunia, saya menduga dia tidak akan pernah melakukan kejahatan hal-hal yang tidak religius. Ternyata..... #ahsudahlah.

Ah, memang. Memegang teguh sebuah idealisme itu susah. Terkadang kita harus fair ketika "lawan" kita masuk dalam ranah yang harus didukung oleh idealisme kita itu.

Rasa-rasanya lebih enak tidak mendeklarasikan diri pada satu idealisme tertentu, karena itu akan mengikis kemampuhan berpikir.

We have our own brain. We can make our analysis. Also, we can do some revisions of our ideas. Katanya manusia itu unik. Gimana sih?

Tetapi jika saya dipaksa untuk memegang sebuah idealisme, maka idealisme saya cukup dinyatakan dengan satu huruf: "I".

Friday, March 27, 2015

Selamatkan Logika Mahasiswa dari Media!

Ada dua hal yang saya kuatirkan mengenai mahasiswa rata-rata yang saya temui di Indonesia (Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta) dalam hal tulis-menulis:

1. Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (SPOK) yang kacau balau.
2. Alur pemikiran yang tidak runut.

Masih banyak sebenarnya hal yang mengkhawatirkan, tetapi saya fokus pada dua hal di atas yang terpenting menurut saya.

Baiklah, bagian pertama, SPOK kacau balau. Saya ambilkan contoh:
Sistem yang diterapkan adalah penggunaan sensor panas pada sistem.
Mungkin bagi Anda yang sudah melanglang buana di dunia tulis-menulis, atau bahkan beberapa diantara Anda yang sering membaca, Anda akan tertawa karena kalimat ini sungguh menggelikan. Akan tetapi, ini realitanya. Bagi beberapa mahasiswa, kalimat ini tidak aneh.

Saya pernah melakukan tes  kecil-kecilan di kelas dengan menunjukkan kalimat di atas kepada mahasiswa saya. Hasilnya, bagi mereka, kalimat tersebut sudah mengandung subjek, predikat, dan objek. Padahal, kalimat di atas hanya terdiri atas subjek saja. Kemudian, bagian "pada sistem" di akhir kalimat juga sebaiknya dibuang. Pada intinya, kalimat di atas kekurangan predikat. "Kelucuan" berikutnya adalah "penggunaan sensor panas" dianggap sebagai "sistem".

Kebiasaan menulis dengan SPOK yang amburadul ini bahkan ada yang menggiring pada bagian kedua, yaitu alur pemikiran yang tidak runut. Kasus-kasus pada bagian ini tidak sebanyak pada bagian pertama. Namun, dari pengamatan saya yang parsial ini, jumlahnya cukup signifikan. Ketidak-runutan ini saya amati berakar dari mudah pecahnya pemikiran mahasiswa akan ide-ide yang muncul belakangan pada saat menulis. Pada awal penulisan, mereka begitu konsisten dengan ide awal. Akan tetapi, karena mereka tidak melakukan pembatasan masalah, ide-ide tersebut pecah tidak karuan sehingga terkesan tidak fokus. Yang lebih parah, ketidakfokusan ini berakibat tidak sinkronnya antara bagian akhir tulisan dengan bagian awalnya.

Saya memiliki hipotesis bahwa inilah buah dari seringnya mahasiswa mengakses media-media audio-visual seperti televisi. Beberapa sampel berita (terutama politik) sering menampilkan ketidak-konsistenan alur berpikir pada sebuah topik. Kebiasaan media menggiring opini dengan menampilkan data-data yang disajikan dengan pilihan kata-kata yang "menarik" dan "memancing emosi" saya duga menyebabkan pola pikir pemirsanya (terutama mahasiswa) tidak terbiasa melakukan check-and-recheck atas informasi yang mereka terima. Proses check-and-recheck yang seharusnya mereka lakukan ternyata harus dilakukan dengan membaca. Pada titik ini, saya menduga (lagi) bahwa mahasiswa tidak membaca dengan seksama informasi-informasi lain yang disajikan dalam bentuk tulisan. Hal ini disebabkan oleh pikiran mereka yang terpecah dan mengikuti gejolak darah mudanya yang emosional karena penyisipan kata-kata provokatif yang ditampilkan oleh media.

Yang saya jabarkan di atas adalah informasi audio-visual yang di-check-and-recheck dengan informasi-informasi berupa tulisan. Bagaimana dengan informasi yang berasal dari internet, yang kebanyakan masih berupa informasi tertulis? 

Dalam kaitannya dengan informasi tertulis yang berasal dari internet, saya menduga adanya kecenderungan mahasiswa untuk mencerna informasi-informasi yang sifatnya easy reading, alias mudah dibaca dan dimengerti, tetapi tanpa pendalaman. Informasi seperti ini biasanya disajikan oleh situs-situs berita yang hanya bertujuan mengejar traffic. Sebagai contoh, ada informasi yang disebarkan sebuah situs berita yang "menyajikan berita dengan super cepat" tentang keputusan pemerintah mengenai, misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Karena para mahasiswa mengetahui informasi dari sumber-sumber yang easy reading, mereka tidak mengecek lagi ke sumber utama keputusan pemerintah tersebut, yaitu Keppres no. xxx tahun yyyy yang membahas kenaikan harga BBM. Mengapa? Hal ini terjadi karena informasi dalam keppres tersebut disajikan dalam bahasa hukum / bahasa birokrasi, sehingga kebanyakan mahasiswa merasa kesulitan untuk mencerna setiap kalimat dalam keppres tersebut. Padahal, keppres itulah sumber yang paling bisa dipercaya untuk mendapatkan informasi. Media hanyalah lidah kesekian dalam penyampaian informasi tersebut.


Media-media audio-visual dan internet pada hakekatnya adalah media-media yang ditujukan untuk tujuan-tujuan bisnis dengan menggalakkan aktivitas-aktivitas seperti mengejar follower dan mencari sensasi. Ketiga hal ini berujung pada keuntungan material pemilik media. Karena kaitannya dengan bisnis, maka hal pertama yang dititikberatkan adalah kemudahan pada informasi yang diberikan: kemudahan akses, kemudahan dibaca dan dimengerti dalam waktu singkat, dan yang paling penting adalah kemudahan bagi informasi untuk memancing datangnya  follower , yang ujung-ujungnya, hanya akan berefek pada naiknya pemasukan dari sektor periklanan. Namun di sisi lain, media-media ini "mendidik" mahasiswa menjadi manusia-manusia yang berpikir pendek, mudah terprovokasi, dan kurang memiliki logika yang runut. Media tidak akan memberikan informasi yang terlalu dalam, karena mereka sendiripun juga dikejar-kejar deadline. Selain itu, informasi yang terlalu dalam, apalagi yang disajikan dengan bahasa yang rumit ala akademisi jelas tidak menguntungkan bagi bisnis.

Di sinilah mahasiswa harus disadarkan dan logika mahasiswa harus diselamatkan kalau mau bangsa ini memiliki cendekiawan-cendekiawan yang ..... (isi sendiri yang baik-baik saja, seperti misalnya: santun, pintar, dan lain-lain)


Thursday, February 26, 2015

Keputusan Sebaiknya Berbasis Gosip, Opini, Hipotesis, atau Verified Information?

Setelah menjabarkan cara berpikir saya dalam melihat informasi dalam tulisan ini (LINK), saya memiliki ide untuk melanjutkan tulisan tersebut ke dalam satu fenomena yang biasa kita temukan sehari-hari: pengambilan keputusan (decision making).

Contoh sederhana tentang pengambilan keputusan ini misalnya dalam kasus pengumuman harga bensin Premiun naik per pukul 00.00 nanti malam. Apa yang terjadi kemudian? Dari pengalaman kita melihat adanya antrian pembeli bensin Premium di berbagai SPBU malam hari sebelum kenaikan harga terjadi. Ini adalah pengambilan keputusan berdasarkan verified information. Informasinya sudah jelas, diumumkan oleh pihak yang informasinya dapat dipercaya (Pemerintah).

Bagaimana dengan kejadian, misalnya, harga minyak dunia naik? Logika umum masyarakat akan mengatakan bahwa "sebentar lagi harga bensin Premium juga naik". Bahkan mungkin ada yang lebih presisi prediksinya: "seminggu lagi harga bensin Premium naik". Akhirnya, terjadilah antrian yang lebih padat dari biasanya, meskipun mungkin tidak sebanyak ketika ada pengumuman Pemerintah. Ini adalah contoh pengambilan keputusan berbasis gosip atau opini. 

Lalu apakah pengambilan keputusan berbasis verified information itu lebih baik daripada berbasis gosip atau opini?

Saya pikir jika seorang pemain saham harus melaukan verifikasi informasi keuangan dunia, jangan-jangan dia malah mengambil keputusan yang tepat di saat yang salah, sehingga bukannya mendapat keuntungan, tetapi malah kerugian. Agak sulit membayangkan seorang pemain saham (atau valuta asing) mengambil keputusan berbasis verified information. Dalam pengalaman, mereka biasanya mengambil keputusan berdasarkan gosip. Perlu diakui, dan berdasarkan pengalaman, bahwa gosip berkembang lebih cepat daripada verified information.

Kita juga pernah mengalami masa-masa di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat lama sekali mengambil keputusan. Saya menduga bahwa beliau berusaha mengambil keputusan berdasarkan verified information, bukan berdasarkan gosip, opini, atau hipotesis. Presiden Jokowi mungkin juga mengalami hal yang sama, tetapi saya tidak bisa membayangkan jenis verified information apa yang ditunggu pak presiden dalam masalah perseteruan Polri dan KPK tempo hari.

Kalangan akademisi adalah kalangan yang mempunyai "tradisi" mengambil keputusan berdasarkan verified information. Masuk akal sebenarnya, karena mereka sebenarnya adalah "pemelihara ilmu pengetahuan", sehingga validitas sebuah teori dalam bidang ilmu mereka sebisa mungkin dijaga agar selalu konsisten.

Berbeda dengan kalangan pebisnis. Saya memperhatikan kalangan ini jarang menunggu verified information dalam mengambil keputusan, dan kadang-kadang melakukan gambling, ketika informasi yang didapat (misalnya tentang kompetitor) dirasa cukup akurat (meskipun sebenarnya masih dalam tataran hipotesis). Tetapi mengingat sempitnya waktu untuk mengambil keputusan, mereka tidak mungkin memverifikasi semua informasi yang mereka dapatkan. Bisa-bisa peluang mereka diserobot para kompetitor.

Yang menjadi masalah di sini adalah ketika sebuah profesi mengambil keputusan di luar pakemnya. Ini terutama untuk kalangan akademisi, terutama yang saya amati, dalam bidang sosial politik (sorry kalau sebut nama disiplin ilmu!). Seringkali beberapa dari mereka menjelma menjadi komentator kacangan dan berkomentar tidak seperti layaknya seorang akademisi: hanya berdasarkan opini dan gosip. Masih lebih baik jika mereka berkomentar berdasarkan sebuah hipotesis. Jarang dari komentator-komentator tersebut yang sabar menunggu informasi itu terverifikasi sebelum mereka berkomentar. Tiba-tiba mereka menjadi sok mengetahui segala hal dan membuat analisis yang tidak berdasarkan metode ilmiah. Apakah ini demi sebuah "pencarian akan honor komentator" sehingga mereka rela melepaskan prinsip dasar dalam berpikir dan mengambil keputusan? Ah, tidak tahu saya. Saya tidak mau bergosip.



Gosip, Opini, Hipotesis, atau Verified Information?

Setidaknya ada empat kelas informasi yang saya jadikan pegangan untuk menilai apakah informasi yang saya baca/dengar/terima itu adalah informasi yang perlu disikapi secara serius atau tidak serius:

1) Gosip
2) Opini
3) Hipotesis
4) Verified Information

Gosip, adalah ketika berita yang kita baca/dengar/terima itu tidak jelas asalnya dari mana. Tidak jelas bukti fisiknya bagaimana. Informasi seperti ini bukan hanya terkait dengan infortainment atau info selebriti, tetapi juga untuk informasi-informasi yang terlihat bombastis secara ilmiah, padahal tidak ada verifikasi ilmiahnya.

Opini, adalah ketika berita yang kita baca/dengar/terima itu merupakan hasil pemikiran seseorang. Bedanya dengan gosip, kalo opini ini jelas pemikiran siapa. Kalau gosip, meskipun berbentuk seperti opini, kita tidak tahu siapa pencetus utamanya / dari mana asalnya. Opini tidak perlu diajukan sebagai verified information, kecuali jika ada situasi-situasi yang mendesak. Jika informasi tersebut terlihat ilmiah, tetapi hanya di-sounding oleh satu atau beberapa pihak tanpa proses verifikasi ilmiah, ya saya anggap itu opini.

Hipotesis, adalah penjelasan yang diajukan untuk menerangkan sebuah fenomena (terjemahan dari Wikipedia). Mengapa istilahnya "penjelasan yang diajukan"? Karena tahapnya belum melalui tahapan "verifikasi oleh komunitas yang relevan dan ilmiah". Mungkin saja sebuah hipotesis sudah melalui tahapan-tahapan ilmiah, tetapi belum mendapatkan verifikasi oleh komunitas yang relevan dan ilmiah.

Verified Information, adalah penjelasan terhadap sebuah fenomena, di mana datanya jelas berasal dari mana (where), datanya apa (what), diambil kapan (when), diambil oleh siapa(who), mengapa data seperti itu yang muncul (why), dan bagaimana data itu bisa muncul (how). Interpretasi atas data tersebut sudah dikonfirmasi oleh komunitas yang relevan dan ilmiah. Agak berat bagi sebuah informasi untuk mencapai level "verified". Bahkan untuk sebuah informasi yang sudah dianggap kebenaran bagi banyak orang, saya akan sangat berhati-hati untuk mengkategorikannya sebagai "verified". Paling banter saya masukkan ke dalam "hipotesis". 

Catatannya adalah: keempat kategori di atas sifatnya adalah falsifiable, dapat dipersalahkan, dapat direvisi. Ya, ini kan bicara tentang informasi terkait dengan kadar keilmiahannya. Ya mestinya falsifiable. Tinggal masalahnya adalah seberapa tinggi tingkat keakuratan yang dimiliki oleh informasi tersebut. Hal lain adalah masalah interpretasi atas informasi. Ini juga menentukan tingkat keakuratan, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa setiap informasi yang kita terima memiliki kandungan interpretasi yang tentu saja berbeda untuk otak setiap orang.

Tentu saja, saya akan menganggap paling serius verified information. Hipotesis, ya.... saya catat saja, perlu diperhatikan serius, meskipun tidak seserius verified information. Opini, sebagai bahan pertimbangan. Gosip? Ah, buat senang-senang saja ^_^

Friday, February 20, 2015

Pendidikan untuk Berpikir Merdeka

Hari ini saya disibukkan dengan aktivitas memeriksa tugas mata kuliah Sistem Kendali Industri (S1). Ada 55 berkas yang harus saya periksa. Ketika sampai pada berkas ke-18, ada pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik saya: Apakah saya harus memberi nilai rendah untuk jawaban-jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan? Dan sebaliknya, apakah saya harus memberi nilai tinggi untuk jawaban-jawaban yang sesuai dengan apa yang saya pikirkan?

Pertanyaannya sendiri membutuhkan analisa mendalam yang saya pikir juga sulit dilakukan dalam waktu satu minggu. Mereka harus membaca banyak referensi untuk menjawab pertanyaan saya. Akhirnya, bisa ditebak. Jawaban yang saya terima tidak sesuai dengan harapan saya. Tetapi dengan demikian, apakah saya harus memberikan nilai rendah?

Saya akhirnya berusaha melihat dari sisi lain: bagaimana cara mereka berpikir sehingga sampai pada jawaban yang kurang benar ("kurang benar", karena memang sebenarnya tidak terlalu salah, tetapi kalau dibilang benar juga tidak bisa), atau cara mereka berpikir sehingga sampai pada jawaban yang hampir benar.

Akhirnya saya sampai pada satu hipotesa: para mahasiswa terjebak pada pola pikir yang tidak membebaskan. Mereka berpikir jawaban apa yang benar menurut saya/dosen. Mereka tidak berpikir jawaban apa yang benar menurut versi mereka. Ini pola pikir yang saya duga sudah ditanamkan di sistem pendidikan kita. Guru selalu benar, murid harus mengikuti kebenaran yang disampaikan guru. Tanpa sedikitpun gairan brainstorming di situ. Sedikit banyak, itu juga yang saya alami dahulu sebelum SMU. Waktu di SMU? Thanks God, SMU saya (SMU Kolese De Britto, Yogyakarta)-lah yang mengajarkan saya berpikir merdeka.

Jawaban-jawaban yang saya terima adalah jawaban-jawaban yang tidak merdeka, penuh ketakutan akan nilai jelek, takut keluar dari pakem. Padahal saya berharap mereka startdari common sense yang mereka punya, bukan dari common sense yang saya punya. Jelas, mereka tidak tahu apa yang saya pikirkan. Saya justru ingin tahu bagaimana kemerdekaan mereka berpikir membuat mereka menjawab dengan lebih bergairah, bersemangat, dan, ini mungkin agak sedikit lebay, membuat mereka mencintai subyek yang saya ajarkan.


Sehingga akhirnya bagaimana? Jawaban mereka hanya mencontek dari slide PPT saya, menyimpulkan sendiri tanpa berusaha "menyelam" ke dalam referensi-referensi lain yang bebas berkeliaran di jagad maya internet, yang mungkin membantah validitas bahan kuliah yang saya sampaikan. Mengapa tidak? Saya bukan Tuhan. Saya bisa salah. Mereka pikir sayalah kebenaran itu. Atau jangan-jangan gaya mengajar saya yang mengesankan bahwa "sayalah kebenaran"? Hahahaha.....

Tetapi memang, kemerdekaan berpikir bukan berarti berpikir tanpa dasar. Ia adalah pola pikir yang dibangun atas fakta-fakta ilmiah yang valid. Kemerdekaan berpikir memberikan interpretasi manusia atas fakta-fakta ilmiah tersebut. Saya ambil contoh Isaac Newton. Lihatlah bagaimana Newton memodelkan buah apel yang jatuh ke tanah dari pohon sebagai bukti eksistensi gaya. "Gaya" itu apa? Itu adalah model yang diusulkan (alias hasil interpretasi) Newton untuk merepresentasikan penyebab tarik-menarik antar benda. Lain Newton, lain Albert Einstein. Einstein memiliki interpretasi berbeda atas penyebab tarik-menarik tersebut: pembelokan ruang-waktu (stop! sampai di sini saya sudah tidak mengerti, hehehe...)

Entahlah. Yang paling jelas sekarang, tugas berat menanti di depan. Saya harus menanamkan "kemerdekaan berpikir", meskipun dalam bidang teknik yang secara natural lebih rigid daripada ilmu-ilmu non-eksak. Tetapi kemerdekaan berpikir itu sangat perlu. Bagaimana Anda bisa memecahkan masalah jika berpikir saja tidak merdeka? Terpaku pada doktriin-doktrin dan teori-teori yang falsifiable?

Kamu harus berpikir merdeka. Karena ketika kamu berpikir merdeka, maka kamu benar-benar sudah menjadi manusia. Dan tujuan pendidikan yang benar adalah membentuk manusia yang benar-benar menjadi manusia.

Wednesday, February 11, 2015

Persepsi Tanpa Uji Logika

Source: http://www.indiana.edu/~ensiweb/lessons/hori.lin.jpg
Andi dan Budi sedang berbicara dengan guru mereka, Pak Syaiful. 
Si Andi berkata, "Si Budi selalu berbohong."
Si Budi berkata, "Si Andi tidak pernah berbohong."

Informasi siapa yang harus dipercaya Pak Syaiful?

Asumsikan bahwa si Andi adalah pembohong, maka berdasarkan perkataan si Andi, maka si Budi bukan pembohong. Dengan demikian, informasi si Budi bisa dipercaya. Tetapi dengan konklusi awal tadi, informasi si Budi berarti bahwa si Andi tidak pernah berbohong. Konklusi ini tidak konsisten dengan asumsi awal.

Asumsikan bahwa si Andi bukan pembohong, maka si Budi adalah pembohong. Dengan demikian informasi dari si Budi tidak dapat dipercaya. Dengan konklusi tentang sifat si Budi tadi, informasi dari si Budi dapat ditafsirkan sebagai: Si Andi adalah pembohong. Konklusi ini tidak konsisten dengan asumsi awal.

Pak Syaiful pun tidak bisa berbuat banyak....

Ini adalah contoh sederhana bagaimana Pak Syaiful tidak dapat menarik kesimpulan tentang informasi siapa yang benar. Mirip dengan informasi dari media massa saat ini. Sangat sulit menentukan siapa yang "bohong" siapa yang "jujur". Dan realitanya, masalahnya tidak sesederhana "bohong" dan "jujur", karena ini masalah teknik penyampaian informasi. Dan pada akhirnya kita hanya dapat berkesimpulan "media memiliki kepentingan tersendiri", baik kepentingan politik, maupun sekedar mencari sensasi demi oplah semata.

Pak Syaiful di atas akhirnya tidak dapat berbuat banyak, karena pak Syaiful berusaha obyektif berdasarkan kaidah-kaidah logika.

Pak Syaiful dapat diibaratkan sebagai para pembaca / penonton / pendengar media massa saat ini. Pak Syaiful bisa saja mengambil kesimpulan bahwa si Andi yang benar, mungkin karena si Andi terlihat lebih sopan dan si Budi tidak. Atau mungkin Pak Syaiful lebih percaya kepada si Andi karena si Andi beragama yang sama dengannya dan si Budi tidak. Atau bahkan pak Syaiful lebih percaya Andi karena beliau benci sekali dengan Budi. Pokoknya benci, tidak ada pintu maaf bagi si Budi.

Pada akhirnya, "logical deadlock" seperti contoh di atas dengan terburu-buru disimpulkan melalui persepsi yang sangat subyektif.

Seringkali kita menyalahkan media massa atas informasi yang simpang siur. Tetapi sebenarnya kesalahan juga ada pada persepsi kita sendiri sebagai penikmat media massa. Bahkan itulah kesalahan terbesarnya: Persepsi yang tidak diuji dengan logika akan menghasilkan pengambilan kesimpulan yang salah.

Saturday, February 7, 2015

Lagu Sesat

Teringat sebuah lagu anak-anak yang diputar di sebuah pusat perbelanjaan di Yogya.

"Anak ayam turunlah empat,
mati satu tinggallah tiga.
Anak ayam turunlah tiga,
mati satu tinggallah dua.
Anak ayam turunlah dua,
mati satu tiinggallah satu.
Anak ayam turunlah satu,
mati satu tinggal induknya."

Lho, dari tadi ngomongin anak ayam, kok tiba-tiba nongol induknya?

Sebuah lagu yang menyesatkan anak dari sisi matematika.

(Lagi-lagi) Mobil Nasional

Program Mobil Nasional di Indonesia pertama kali muncul ketika dikeluarkannya Inpres Nomor 2 Tahun 1996 yang menunjuk PT Timor Putra Nasional yang dinakhodai Tommy Soeharto untuk mewujudkan satu produk Mobil Nasional. Sesuatu yang cukup kontroversial pada waktu itu, karena hubungan boss perusahaan dengan Presiden Soeharto (hubungan anak dan ayah), sehingga proyek ini diduga berbau KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Program Mobil Nasional menurut Inpres 2 Tahun 1996 ini memiliki beberapa ketentuan: harus mempunyai komponen lokal di tahun I sebesar 20%, tahun II sebesar 40%, dan tahun ketiga sebesar 60%. Sedemikian "mulia"-nya maksud dan tujuan program ini, yaitu memberi kesempatan unsur-unsur lokal terlibat dalam pembuatan mobil nasional, namun pada akhirnya Keppres nomor 42 tahun 1996 memperbolehkan PT Timor Putra Nasional mengimpor mobil dari luar dan diberi cap "Timor" [LINK]. Hal ini mengakibatkan banyaknya protes dari pemain-pemain penguasa pasar mobil di Indonesia karena melanggar ketentuan-ketentuan dari General Agreement of Tariff and Trade (GATT). Akhirnya inpres dan keppres ini pun dicabut dengan Keppres no. 20 tahun 1998 [LINK]. Kesimpulannya,  tidak ada lagi terminologi "mobil nasional" secara definitif (hukum).

Lalu apa yang terjadi dengan penandatanganan MoU antara PT Adhiperkasa Citra Lestari pimpinan Hendropriyono dengan Proton Holdings Berhad, Jumat, 6 Februari 2015 yang lalu? Menurut informasi dari Detikcom [LINK], penandatanganan MoU ini bertujuan untuk mengembangkan lagi mobil nasional, yang ternyata tidak ada lagi definisi hukumnya. Jadi yang harus digarisbawahi bahwa "Mobil Nasional" dalam hal ini bukan mobil nasional yang didefinisikan melalui inpres dan keppres tahun 1996 di atas. Ini menurut saya adalah terminologi informal dan mungkin tidak akan dibuatkan landasan hukumnya, mengingat monitoring dari kompetitor dan WTO (World Trade Organization).

Namun tidak adanya definisi hukum tentang "mobil nasional" dan juga profil Hendropriyono yang berperan penting dalam keberhasilan Jokowi menduduki tahta presiden menjadikan publik beropini bahwa ini adalah aktivitas "bagi-bagi jatah" dari Jokowi kepada para pendukung utamanya. Opini yang sangat wajar dan masuk akal, dan kemungkinan besar benar. Dan, saya sepakat dengan opini ini.

Tetapi saya sendiri tidak khawatir akan tindakan Jokowi ini, karena yang digandeng adalah Proton, yang sebenarnya memiliki tujuan mendapatkan pangsa pasar besar di Indonesia. Dengan kata lain, sebelum ini Proton tidak laku di Indonesia. Proton sedang melakukan jurus "Namanya juga usaha", kalau orang kita bilang. Ketidak-khawatiran saya yang kedua adalah sampai sekarang belum ada (semoga tidak ada) penerapan harga khusus bagi Proton, seperti harga murah, sehingga menjadi "mobil murah nasional". Tetapi kalaupun ada, saya juga tidak khawatir: Pasar yang berbicara. Sebagai pembanding, meskipun Agya dan Ayla didaulat sebagai mobil murah, saya tidak banyak melihat kedua mobil tersebut menguasai jalanan. Bahkan dalam seminggu belum tentu berpapasan dengan mobil Agya kecuali mobil saya sendiri (Agya).

Bahkan menurut saya, "jatah" yang diberikan Jokowi kepada Hendropriyono sudah tepat. Prinsipnya, "beri saja proyek tutup mulut. Proyek yang diberi juga bukan proyek mobil kelas atas." Secara politis sebaiknya begitu. Pendukung utama harus diberi "sumpalan" supaya tidak ngerecokin. Tetapi ini sekedar harapan saya. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan Presiden Jokowi.

Sedangkan bagi Proton, ini kesempatan bagus untuk membuka pasar di Indonesia. Tetapi pasar yang akan menentukan. Timor, sang mobil nasional era Soeharto, ternyata juga tidak laku-laku amat. Kalau Proton tidak belajar dari kesalahan Timor, mereka juga tidak akan mampu bersaing dengan pesaing-pesaingnya di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan kandungan lokal? Ya, karena secara hukum tidak ada lagi definisi "mobil nasional" yang mengatur tentang kandungan lokal, maka sebaiknya tidak usah berandai-andai tentang kandungan lokal pada pelaksanaan MoU ini. MoU ini hanya kompensasi politik.

Lalu bagaimana dengan transfer teknologi? Saya tidak pernah percaya adanya transfer teknologi tanpa usaha. Usaha itu antara lain riset teknologi secara mandiri ataupun stealing teknologi secara mandiri. Jadi lupakan masalah transfer teknologi pada MoU ini, meskipun mungkin dalam klausulnya ada transfer teknologi.

Jadi, apa yang terjadi pada penandatanganan MoU ini. Jelas: kompensasi politik. Dan menurut saya, selama tidak ada gangguan terhadap pasar dari Pemerintah, misalnya munculnya Inpres dan Keppres, atau malah Undang-undang, kita tidak perlu terlalu heboh. Bikin landasan hukum yang mirip-mirip Inpres no. 2 tahun 1996? Mau "dijewer" WTO lagi? Dan sekali lagi, pasar berbicara.

Saturday, January 31, 2015

Bagaimana Negara Demokrasi Seharusnya Bersikap?

Pemerintah yang dihasilkan melalui sistem demokrasi harus menuruti apa yang diinginkan mayoritas rakyat di sebuah negara. Anda setuju?

Saya setuju. Karena sistem demokrasi memang secara praktis dimenangkan oleh kaum mayoritas rakyat di sebuah negara.

1. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah orang miskin, maka Pemerintah harus membuat berbagai cara agar masyarakatnya menjadi, saya katakan, lebih kaya.

2. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah orang bodoh, maka Pemerintah harus memperbanyak sekolah, menyediakan banyak guru agar yang bodoh menjadi lebih pintar.

3. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah orang malas, maka Pemerintah harus mencari cara agar orang malas tersebut menjadi lebih rajin.
4. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah orang-orang pengecut, maka Pemerintah harus mencari cara agar yang pengecut menjadi lebih berani.
5. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah maling, maka Pemerintah harus menata sistem keamanan termasuk hukum dan perundang-undangan, sehingga jumlah maling berkurang, bahkan rakyat yang tadinya maling, pensiun menjadi maling.
6. (bisa ditambahi sendiri).

Masalahnya:

1. Apakah mayoritas rakyat yang miskin memang menginginkan menjadi lebih kaya?
2. Apakah mayoritas rakuat yang bodoh memang menginginkan menjadi lebih pintar?
3. Apakah mayoritas rakyat yang malas memang menginginkan menjadi lebih rajin?
4. Apakah mayoritas rakyat yang pengecut memang menginginkan menjadi lebih berani?
5. Apakah mayoritas rakyat yang maling memang menginginkan pensiun menjadi maling?
6. (bisa ditambahi sesuai tambahan sebelumnya di atas)

Pemerintah yang dihasilkan melalui sistem demokrasi memang seharusnya memenuhi keinginan mayoritas rakyat di negara penyelenggara demokrasi.



Nasionalisasi Perusahaan Asing?



Beberapa hal yang saya masih bingung untuk bersikap jika ada ajakan mendukung "nasionalisasi perusahaan asing" adalah:

1. Apakah nasionalisasi itu selalu menguntungkan negara? Lha kalo alat produksinya diambil semua oleh manajemen perusahaan lama, pemilik baru bisa ganti alat produksi dengan yang lebih baik? (Oh tentu bisa sih, biaya lagi. Ga apa-apa, resiko memang diambil pengambil keputusan, nenek-nenek sedang salto juga tau, hehe...).

2. Apakah nasionalisasi itu menguntungkan rakyat? Saya tidak ragu kalau yang seperti ini. Minimal saya bisa koar-koar ke teman-teman saya dari luar negeri bahwa negara kami akhirnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Yang saya ragu itu: rakyat yang diuntungkan itu rakyat yang mana?

3. Apakah saudara-saudara dan kenalan-kenalan saya yang bekerja di perusahaan tersebut masih bisa mendapatkan fasilitas dan suasana kerja yang (minimal) sama dengan manajemen perusahaan sebelumnya? Tidak semua manajemen asing itu bagus memang, tetapi perlu diakui kebanyakan dari manajemen mereka itu rapi, nggak mbulet. Tetapi saya tidak mau jika ajakan mendukung nasionalisasi perusahaan asing itu menyebabkan saudara saya kehilangan pekerjaan. Kasihan anak-anaknya. Tetapi saya sadar bahwa segala perubahan itu pasti ada resikonya.

4. Saya tidak mau munafik. Pertanyaan ini pasti muncul di kepala saya: kalau saya mendukung, saya dapat apa?


Sumber: [LINK]

Pertanyaannya lagi adalah: nasionalisasi perusahaan asing apakah memang perlu? Apakah memang inilah kemauan rakyat? Nah, kalau memang ini maunya rakyat, setelah dinasionalisasi, apakah rakyat tahu perusahaan ini harus diapakan? Sama seperti pada waktu era Reformasi 1998. Setelah Soeharto turun, rakyat bingung langkah-langkah ideal berikutnya apa. Sementara rakyat berpikir, politikus-politikus oportunis (yang memang sudah mempersiapkan diri) langsung mengambil alih kendali negara. 

Jadi point pentingnya adalah: ketika Pemerintah berkeputusan "nasionalisasi perusahaan asing", apakah kita segenap tumpah darah Indonesia ini siap? Siap lahir batin? Siap teknologi? Siap perencanaan? Siap manajemen? dan "siap-siap" yang lainnya, termasuk Siap Grak !!!

Intermezzo tentang Jalanan Yogya

Minggu pagi, menyambut bulan kedua tahun 2015, sepulang dari gereja saya berkeliling kota Yogya bersama istri dan ibu saya. Sembari berkeliling saya menyadari sesuatu hal yang saya tidak pernah sadari, yaitu bahwa kita tidak mungkin bisa menemukan segmen jalan di Yogya yang hanya dilewati kendaraan dalam 1 arah saja (1 lajur).

Seiring dengan itu ialah bahwa kita juga akan sulit menemukan jalan dua arah / dua lajur di Yogya.

Kok bisa begitu?

Ya, karena setiap jalan di Yogya sebenarnya mempunyai "batas maya" di bagian pinggirannya, yang sering digunakan oleh kendaraan bermotor, sepeda, atau becak untuk berjalan melawan arus. Akibatnya, jalan yang harusnya dibuat satu arah, akan menjadi tiga arah (selang-seling). Yang harusnya dibuat dua arah akan menjadi empat arah (selang-seling).

Bahkan untuk segmen jalan yang agak-agak "berbahaya" seperti jalan layang di dekat Stasiun Lempuyangan, saya pernah menemukan motor yang melawan arus. Tapi jarang memang. Jangan-jangan jalan layang di Ring Road Utara (persimpangan Jl. Magelang) dan di daerah dekat Janti bisa "ketularan" dalam waktu dekat, hahaha.... 

Sayangnya, saya tidak membawa kamera (masih di toko), jadi agak sulit mengabadikan momen-momen "spesial" ini. :)


Friday, January 30, 2015

KKNI: Beginilah Cara Pemerintah Memetakan Kompetensi Anda

KKNI adalah kependekan dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Ini adalah konsep pemetaan kualifikasi kompetensi tenaga kerja Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden RI no. 8 tahun 2012 [LINK]. 

Konsep ini membuat penyetaraan kemampuan tenaga kerja di Indonesia yang mendapatkan kemampuan tersebut dengan berbagai cara, yaitu melalui pendidikan, otodidak, industri, dan profesi. Ini dapat dimengerti, karena dalam kenyataan, misalnya, seseorang yang fasih pemrograman C++ mempunyai kemungkinan mendapatkan kemampuan memprogram C++ dengan berbagai cara: belajar sendiri dari buku-buku yang dijual di pasaran (otodidak), atau mengikuti kursus atau mendapatkan mata kuliah (akademis).

Lebih jauh, kemampuan tersebut, sepertinya dipandang perlu oleh Pemerintah untuk diganjar sebuah formalisasi berupa ijasah, atau sertifikat.

Mari kita perhatikan gambar berikut ini:


Sumber: [LINK]

Gambar (A) di atas adalah 9 level KKNI. Level 1 adalah level dengan kualifikasi paling rendah, dan level 9 adalah level dengan kualifikasi paling tinggi. Dalam kasus pendidikan formal, level 1 itu adalah level tenaga kerja dengan level kualifikasi SMP. Level 9 adalah level tenaga kerja dengan level kualifikasi S-3.

Level inilah yang akan menjadi target pencapaian kompetensi setiap tenaga kerja Indonesia. Jadi singkatnya, Pemerintah berusaha melakukan penyetaraan level kualifikasi terhadap tenaga kerja yang mendapatkan kemampuan/skill-nya melalui pendidikan formal maupun tidak melalui pendidikan formal. Dalam gambar (B) di atas, terlihat bahwa level operator di industri (yang mendapatkan kemampuannya melalui training industri) menempati level 1~3 (SMP ~ D1, bisa dilihat lebih detail pada gambar di bawah).

Apa konsekuensi logis dari konsep ini?
Menurut saya, konsekuensinya adalah dunia pendidikan akademis mau tidak mau harus melakukan penyesuaian terhadap "dunia lain" (industri, otodidak, persatuan profesi) sedemikian sehingga ketika lulusan pendidikan akademis (formal) dipertemukan dengan orang-orang dari industri dengan level KKNI sama, kemampuan mereka juga harus sama. Itu harapan Pemerintah. Itu dari kacamata saya, seorang dosen.

Konsekuensi yang sama juga berlaku di dunia pendidikan informal (otodidak), industri, maupun persatuan profesi.

Sekali lagi, perlu dicatat bahwa "penyetaraan" di sini diformalisasi melalui adanya ijasah, sertifikat, dan dokumen lain yang merepresentasikan level KKNI. Gambar di bawah ini memperlihatkan proses formalisasi penyetaraan level KKNI yang nantinya akan diatur oleh sebuah badan yang namanya Badan Kualifikasi Nasional Indonesia.


Sumber: [LINK]

Ke depan, direncanakan peta penyetaraan berbasis KKNI ini akan seperti gambar di bawah ini.


Sumber: [LINK]

Setiap jenjang / level KKNI mempunyai target yang dinamakan capaian pembelajaran, yang dipetakan seperti gambar berikut ini.


Sumber: [LINK]

Saya agak malas menerangkan bagian ini. Jadi lebih baik readers melihatnya di [LINK] :)

Berikut ini adalah contoh poin-poin capaian pembelajaran yang diharapkan dari seseorang yang memiliki kualifikasi KKNI level 6 (alias, setara S-1):

1) Mampu  mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi
2) Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural
3) Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok
4) Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.

Berikut ini adalah contoh poin-poin kualifikasi yang diharapkan dari seseorang yang memiliki kualifikasi KKNI level 7 (alias, setara S-1 ++, alias profesional):

1) Mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan IPTEKS untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi.
2) Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan monodisipliner.
3) Mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis dengan akuntabilitas dan tanggung jawab penuh atas semua aspek yang berada di bawah tanggung jawab bidang keahliannya.

Berikut ini adalah contoh poin-poin kualifikasi yang diharapkan dari seseorang yang memiliki kualifikasi KKNI level 8 (alias, setara S-2):

1) Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan teruji. 
2) Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter atau multidisipliner .
3) Mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi masyarakat dan keilmuan, serta mampu mendapat pengakuan nasional maupun internasional.

Berikut ini adalah contoh poin-poin kualifikasi yang diharapkan dari seseorang yang memiliki kualifikasi KKNI level 9 (alias, setara S-3):


1) Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni BARU di dalam bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji. 
2) Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter, multi atau transdisipliner.

3) Mampu mengelola, memimpin, dan mengembangkan riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia, serta mampu mendapat pengakuan nasional maupun internasional. 

Kesimpulan saya: konsep ini secara umum bagus. Tinggal bagaimana pelaksanaannya. Seperti biasa, kita bagus dalam membuat konsep, tetapi memble dalam pelaksanaannya. Kemudian berikutnya, terbuka peluang bagi Anda yang tidak sempat merasakan pendidikan yang tinggi, untuk disamakan levelnya melalui konsep KKNI ini. Dalam persaingan setelah AFTA 2015 mulai diberlakukan, hal ini penting. Setidaknya Anda mengetahui posisi Anda di tingkat nasional.

Tetapi catatan di sini adalah: konsep ini memandang kualitas tenaga kerja secara formal. Anda harus mempunyai sertifikat yang menerangkan bahwa Anda memang setara di level KKNI tertentu. Tetapi memang ini adalah konsep untuk pekerja. Pengusaha saya kira tidak memerlukan kualifikasi pribadi seperti ini. Justru konsep ini memudahkan pengusaha: mereka membutuhkan rekruitmen tenaga kerja di level berapa.

Miskin Kreativitas Musik Indonesia

Saya ini penggemar musik, terutama pop dan rock. Dan terutama lagi, musik-musik di era saya sekolah sampai kuliah dulu, era akhir 80-an sampai 2000-an awal. Musik di era itu sangat beragam genre-nya (eh, genre itu apa ya?). Saya tinggal pilih. Setiap genre selalu punya lagu-lagu unggulan. Sebut saja lagu-lagu Dewa dengan kreativitas Ahmad Dhani pada waktu itu yang selalu menampilkan inovasi-inovasi baru. KLa Project dengan kekuatan lirik dari Katon Bagaskara, yang memperkenalkan "pop alternatif". PADI, dengan permainan gitar dari Piyu yang menjadi favorit saya. Gigi, dengan Armand Maulana dan Dewa Bujana-nya., yang memadukan gaya pop, rock, dan jazz. Saya mengenal rock alternatif dari Gigi. Saya kenal rap ala Indonesia dari Iwa K. Saya kira berbahagialah generasi yang sempat menikmati musik di era-era tersebut. 

Tetapi belakangan ini kenikmatan telinga saya dalam mendengarkan musik-musik Indonesia agak terganggu, karena saya mendengar lagi lagu-lagu favorit saya di masa lalu dengan aransemen yang berbeda, dan improvisasi vokal yang terlalu dipaksakan. Aransemen yang sudah enak tertata dengan filosofi yang tepat, malah dirusak sehingga filosofi lagunya hilang. Esensinya hilang.

Bayangkan saja, lagu-lagu yang ketika diputar ulang, sempat mengingatkan kita kepada beberapa event dalam perjalanan hidup kita di masa lalu, tiba-tiba hadir kembali dalam kondisi aransemen yang lain, dengan kualitas lebih rendah, dan menghancurkan segala kenangan atas event-event itu? Gimana gak pengen gebukin si penyanyi?

Coba lihat lagu "Yogyakarta" yang dinyanyikan ulang oleh Ungu. Nilai 6 skala 10!! Harusnya nilai 4, tetapi lirik Katon membantu Ungu menaikkan rating nilainya di mata saya. Tetapi maaf, cuman mentok di 6. Saya kehilangan kesan merintih di lagu ini. Re-aransemennya menjadi terlalu rock. Aransemen rock di lagu ini sangat tidak cocok untuk tema merintih, kalo buat saya sih...

Saya menemukan lagi aransemen ulang "Mahadewi"-nya PADI, tetapi saya lupa nama penyanyinya. Penyanyinya wanita. Dan saya nilai lagu re-aransemen ini nilainya 5 skala 10. Terlalu banyak improvisasi vokal, musiknya terlalu mengada-ada. Makna aslinya hilang. Feeling saya pun ikut hilang -_-

Okelah, saya tidak bisa menyamaratakan bahwa re-aransemen seperti itu merusak lagu. Ada juga lagu-lagu yang bagus. "Cinta Kan Membawamu Kembali" milik Dewa 19 yang dinyanyikan ulang oleh Reza Artamevia termasuk bagus. Reza gitu loh. Saya tidak meragukan kualitas vokalnya. Re-aransemennya juga tidak mengubah makna. Tetapi saya tidak merasakan feelingnya, karena lagu ini aslinya dinyanyikan oleh pria, sehingga saya merasakan feeling sebagai pria. Ya itu tidak perlu terlalu jadi masalah....

Sebenarnya ada satu hal lagi yang menjadi perhatian saya. Saya melihat meningkatnya jumlah lagu re-aransemen akhir-akhir ini. Saya bisa menemukan paling tidak 10 buah lagu. Saya menduga, kalau saya rajin, saya bisa menemukan 20 buah lagu. Lirik sama, aransemen diganti, plus improvisasi vokal. Ada apa dengan pencipta lagu Indonesia? Mengapa mereka begitu "malas"? Ilham sedang susah ditemukan hari gini? Ke mana larinya ilham?

Kita tidak punya pencipta lagu sekelas Katon Bagaskara, atau sekelas Piyu PADI? Atau selevel Melly Goeslaw? What ??? Really ???
Saya menyaksikan banyak "polusi" pada lagu-lagu "baru tapi lama" ini. 

Saya juga sempat berpikir, kenapa penyanyi dan pencipta lagu masa kini ini tidak bisa "tenang" dulu.... Try to be original. Cari ilham dulu, kemudian menciptakan lagu yang orisinal. Mengapa mereka terburu-buru? Bukankah mencari ilham itu adalah pekerjaan sehari-hari penyanyi dan pencipta lagu? Katon Bagaskara melakukannya. Konon kabarnya, beberapa ilhamnya ditemukan di sekitaran Gunung Merapi (DIY). Lalu, kenapa pencipta-pencipta lagu ini tidak berdiam dulu di gunung? Atau merenung di pantai? Apakah ini dampak komersialisasi yang tidak mau tahu dengan proses mencari ide-ide segar dan orisinal? Yang ingin menghasilkan penghasilan dengan cepat? Atau penyanyi-penyanyi baru yang ingin terkenal dengan cara instan? Tanpa kekuatan filosofi bermusik yang orisinil? Entahlah... yang jelas, saya sebagai penikmat musik sangat menderita. Sakitnya tuh di sekujur tubuh, you know ?

Dalam pandangan saya, pencipta lagu itu sama levelnya dengan doktor. Mereka dituntut menemukan hal-hal baru. Saat ini saya melihat "doktor-doktor" musik ini tidak memperlihatkan kualitas sebagai doktor. Mereka "turun level" ke master, atau malah D3 dalam kasus musik. Hanya berani mengubah aransemen tanpa berpikir bahwa perubahan yang mereka lakukan malah merusak filosofi lagu. Tidak berani berfilosofi sendiri. Tetapi sama seperti doktor betulan, uang yang banyak datang dari pragmatisme, bukan dari filosofi. Ambil jalan gampang yang pragmatis, lalu sesegera mungkin jual. Dan "money come-come-laahh...." kata orang Singapur. Ya kalau masalahnya sudah masuk ke uang, saya mau protes apa? Hari gini apa-apa butuh uang hahaha.....

Anyway, sebagai penikmat musik, saya merindukan kekayaan inovasi musik Indonesia di era 80-an sampai awal 2000-an. Tapi tidak apa-apa. Memutar ulang lagu-lagu favorit saya dalam aransemen aslinya masih lebih menghibur daripada mendengarkan turunan-turunan aransemen yang merusak lagu.





Sunday, January 25, 2015

Jokowi, KPK, Polri, dan Truf

Gonjang-ganjing di level kepemimpinan NKRI yang saya amati sejak jaman Reformasi 1998, membawa saya ke satu pendekatan analisis: "Truf Analysis". Truf, sebuah permainan kartu yang sangat saya gemari di masa kuliah dulu, adalah permainan yang dimainkan oleh 4 orang, di mana masing-masing mempunyai target bidding yang jika terpenuhi, maka akan memberikan nilai positif, jika tidak, maka nilainya negatif.

Saya tidak berpanjang lebar menjelaskan permainan truf. Inti permainan ini adalah: ketika kita punya sekelompok kartu (heart/spades/dll) yang menjadi kelompok kartu truf dan kita memiliki urutan kartu-kartu truf kuat (As, K, Q, J, atau kombinasi-kombinasinya), maka kita memiliki peluang untuk mencapai tujuan mencapai nilai plus yang tinggi (goal bidding), tergantung kemampuan kita memanajemen pengeluaran kartu-kartu truf tersebut. Karena bisa saja meskipun kita punya kartu truf, tetapi kita tergelincir karena kelihaian pihak lawan untuk "mencuri kartu truf kita dengan keluaran kartu truf yang mereka punya". Kemampuan kawan-kawan kuliah saya dulu di Himpunan Mahasiswa Elektro ITB benar-benar membuka mata saya bahwa pemegang truf kuat belum tentu menang.... :)

Ini pendekatan yang paling pas saya kira untuk menggambarkan beberapa kejadian di pemerintahan, seperti:
1. Kenapa Budi Gunawan tiba-tiba menjadi tersangka pada saat diajukan sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi.
2. Kenapa Kabareskrim Polri tiba-tiba mencokok Bambang Widjojanto (BW) dengan tuduhan kasus lama.
3. Kenapa Presiden Jokowi tidak memiliki sikap tegas dalam pernyataannya setelah peristiwa penangkapan BW.

Tiga itu dulu. Sebenarnya banyak kejadian masa lalu yang menjadi tanda tanya publik, karena tidak masuk di logika.


Sebenarnya tulisan ini agak basi. Semua orang mungkin sudah bisa mengira-ngira permainan apa yang terjadi. Saya hanya ingin membuat suatu formalisasi teori atas perkiraan-perkiraan banyak orang.

Pendekatan teori saya ini saya simplifikasi ke dalam satu kalimat, yaitu:
Setiap institusi negara mempunyai catatan kesalahan institusi lain yang dapat menjadi "kartu truf" apabila suatu saat institusi tersebut sedang terancam.
Paling gampang memang antara KPK dan Polri. Banyak pertanyaan publik tentang KPK di masa lalu seperti ini:
Katanya si A tersangka korupsi, kok tidak segera ditangkap ?
Atau seperti ini:
Kasus korupsi H ini sudah banyak saksi-saksinya, tetapi kenapa belum ada satupun tersangka?
Dan banyak pertanyaan lainnya.

Readers, saya mempunyai pendekatan teori yang saya yakini mengenai hubungan antar-institusi atau hubungan antar-pribadi yang terlibat dalam penyelenggaraan negara (eksekutif, yudikatif, legislatif) di mana masing-masing institusi mempunyai sistem "pertahanan" terhadap "serangan-serangan" dari luar institusi, yaitu dengan cara menyimpan data-data yang mereka miliki tentang institusi lain. Data-data tersebut dapat merupakan data mengenai "borok" seseorang di institusi lain yang mereka anggap "agresif". Pengertian "borok" di sini relatif. Sesuatu yang sebenarnya bukan borok, bisa saja dimodifikasi sebagai borok. Tergantung kelihaian pakar hukum yang dibayar :)

Borok tersebut bisa saja berupa transaksi bisnis, pertemuan-pertemuan (yang mana sebenarnya hanya ketemu di kerja bakti kelurahan, tetapi bisa menjadi "senjata" bagi lawan politik), sampai pada kisah-kisah "teman tapi mesra" di dalam atau di luar pekerjaan, atau jika ada yang sempat mengetahui masa kecil seorang tokoh yang ternyata suka baca stensilan bokep, itu juga bisa jadi senjata. Selama ada sesuatu yang kelak berguna sebagai senjata, maka simpanlah data itu. Jangan dibuka sekarang. Nanti saja truf-nya dibuka jika diperlukan. Begitulah kira-kira prinsip dasar "pertahanan" sebuah institusi lembaga penyelenggara negara kita.

Saya yakin, lembaga-lembaga seperti KPK dan Polri pun melakukan hal yang sama, dengan cara profesionalnya masing-masing. Profesional? Ya, memang sebagai lembaga negara, dalam melakukan "serangan" ke institusi lain, cara-cara mereka haruslah profesional. Bukan model-model edit gambar ketua KPK dan seorang peserta kontes kecantikan. Bukan. Bukan itu. Ini secara profesional. KPK melakukan penyadapan. Itu profesional, sesuai undang-undang. Polisi melakukan penyelidikan tindak kriminal. Itu juga profesional.

Yang menarik adalah, ketika mereka seharusnya melakukan action, mereka malah menunda-nunda. Publik bertanya, apa yang mereka tunggu sebenarnya? Jawaban saya: mereka menunggu diserang. 

Adakah yang masih ingat jaman dahulu, kapan Tommy Soeharto ditangkap polisi setelah buron gara-gara sebuah kasus? Sehari sebelum kapolri baru diganti! Suatu kebetulan yang luar biasa tentunya. Saya tidak bisa memberi kepastian tentang kenapa event tersebut begitu pas. Saya hanya mencurigai kapolri yang lama waktu itu sengaja mengulur waktu sampai dia diganti. Dia tidak mau terkena imbas penangkapan seorang anak mantan presiden terkemuka di negara ini. Itu teori saya.

Nah, pola yang sama juga digunakan oleh lembaga-lembaga penyelenggara negara lainnya, termasuk Presiden. Apa yang sebenarnya terjadi ketika Presiden Jokowi mengajukan seorang yang jelas-jelas masuk dalam daftar penyelidikan KPK terkait rekening gendut? Seorang yang dari dulu dikenal bersih tiba-tiba melakukan sebuah hal konyol? Jelas ada kekuatan besar yang akan menyerang balik dirinya melalui data-data yang sudah lama dikumpulkan mengenai Jokowi sebelum menjadi presiden.

Saya bandingkan dengan Basuki Tjahaja Purnama (BTP alias Ahok), sang gubernur DKI. Kenapa dia begitu berani mengambil keputusan, bahkan sampai melawan partai induknya sendiri (Gerindra) dan melawan DPRD? Terlepas dari prinsip pribadinya yang anti-korupsi dan memang berani berantem, saya melihatnya sebagai seorang yang data-data keborokannya minim (semoga!) dan sulit digunakan oleh lawan-lawan politiknya untuk menyerang balik.

Ada apa dengan Jokowi? Apakah ada data-data borok pribadi yang siap diluncurkan ketika dia melawan sebuah kekuatan yang lebih masif, katakanlah PDIP dan Megawati-nya? Bisa jadi. Baik borok beneran maupun borok yang dimodifikasi. Intinya, bisa jadi Jokowi melihat ada potensi serangan balik yang akan diterimanya ketika dia melakukan sesuatu yang pro-rakyat dan kontra-oligarkhis partai.

Saya tidak tahu apa yang dibicarakan Presiden Jokowi dengan Wakapolri dan ketua KPK pasca penangkapan BW. Yang jelas, statement-nya yang sangat normatif menandakan sebuah tekanan besar, tekanan yang menurut teori saya, berasal dari "database" yang dimiliki kekuatan-kekuatan masif (partai misalnya ?) mengenai borok-borok (sekali lagi, pure borok, atau borok modifikasi) Jokowi sewaktu Pilpres, atau bahkan Pilkada DKI, atau bahkan Pemilihan walikota Solo?

Ini dulu analisa yang bisa saya kupas. Permainan masih berlanjut, dan pemberantasan korupsi tidak semudah itu ternyata...

Sunday, January 18, 2015

Kompleksitas Transportasi Massal di Indonesia

Transportasi massal adalah sebuah solusi untuk mengatasi kemacetan akibat banyaknya kendaraan di sebuah kota. Sebuah kota yang besar, apalagi sampai selevel metropolitan / megapolitan sudah jelas harus menerapkan transportasi massal.

Dari pengalaman saya melihat transportasi massal di Seoul, Busan (Korea Selatan), dan Singapura, saya melihat bahwa nilai jual sebuah sistem transportasi massal yang ideal adalah:

Lebih murah, lebih cepat, lebih nyaman

Lebih murah, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, Anda harus mengeluarkan biaya lebih sedikit ketika menggunakan transportasi massal dibandingkan dengan ketika menggunakan kendaraan pribadi. Biaya kendaraan pribadi tersebut pertama-tama adalah bahan bakar (BBM), dan biaya-biaya lainnya termasuk biaya service kendaraan yang harus disisihkan untuk setiap kilometer yang ditempuh (ini mungkin susah menghitungnya, dan memang kebanyakan orang tidak menghitung komponen biaya ini).

Lebih cepat, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, Anda menempuhnya lebih cepat daripada ketika menggunakan transportasi massal. Ini sangat terasa ketika A dan B adalah titik yang sangat jauh. Tangerang ke Bekasi misalnya (ini beneran, saya tidak sedang menghina Bekasi).

Lebih nyaman, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, perjalanan Anda adalah perjalanan yang lebih nyaman daripada ketika Anda menggunakan kendaraan pribadi. Ini mungkin menjadi faktor yang kurang diprioritaskan. Tetapi kalau diadakan survey kepada pengendara mobil, kenyamanan adalah satu faktor pertimbangan mereka menggunakan mobil.

Menurut saya, pengadaan transportasi massal di megapolitan seperti Jakarta tidak dapat langsung mengejar ketiga persyaratan tersebut. Tetapi paling tidak faktor harga murah bisa lebih diprioritaskan lebih dahulu. 

Satu kekaguman saya pada sistem transportasi massal di Korea Selatan adalah integrasinya dengan Sistem Informasi. Bagaimana bisa? Sistem informasi di Korea Selatan memungkinkan seorang penumpang membayar 50% lebih murah ketika mereka melakukan perjalanan sambung-menyambung dari trayek satu ke trayek lain. Jadi misalnya Anda melakukan perjalanan dari A --> B --> C --> D dengan biaya masing-masing rute adalah 1000 won (jadi total biaya tanpa discount 3000 Won), Anda hanya perlu membayar 1000 Won (A-->B) + 200 Won (B-->C) + 200 Won (C--D) = 1400 Won. Setengah harga! Mereka harus berterima kasih kepada sistem informasi mereka yang handal.

Yang menjadi masalah berat di Jakarta adalah moda transportasi massalnya hanya Bus dan Commuter yang jumlahnya terbatas tanpa dukungan sistem informasi yang integrated, yang tidak memungkinkan pemotongan harga ketika orang ingin berpindah dari commuter ke bus atau sebaliknya. Ini yang menyebabkan biaya transportasi massal masih lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kalau saya bisa menempuh jarak 10 km dengan menghabiskan bensin 1/2 liter, alias Rp. 3800,- (patokan harga premium Rp. 7600), buat apa saya bayar moda transportasi yang tarifnya lebih mahal?

Gara-gara contoh barusan, saya melihat ada masalah bagi terselenggaranya transportasi massal: harga BBM. Kenapa di Korea Selatan transportasi massalnya efektif? Salah satunya juga karena harga BBM di sana bisa mencapai Rp. 20.000 per liter (di atas $1, tarif rata2 subway 1000 Won = $0.93). Jangan-jangan, selama harga BBM kita masih di bawah Rp. 15.000 per liter, transportasi massal belum menjadi pilihan mau sebanyak apapun bus yang disediakan, karena biaya penggunaan kendaraan pribadi lebih murah. Dulu pak Jokowi sewaktu masih menjadi Gubernur DKI pernah mengatakan bahwa patokan tarif monorail adalah $1 alias Rp. 12.000. Ini baru cocok ketika jarak yang ditempuh melebihi harga 1,6 liter bensin (tarif 1 l = Rp. 7600). Jadi misalnya sebuah kendaraan menghabiskan 1 liter bensin per 15 km, jarak ekonomis antar stasiun/halte ya... 24 km. Bandingkan dengan jarak antar stasiun subway di Busan: 1 - 3 km.

Masalah lain yang menurut saya menjadi syarat utama suksesnya penerapan transportasi massal sebenarnya adalah manusia-nya sendiri. Percuma pemerintah menerapkan transportasi massal kalau manusianya enggan berjalan kaki. Sangat sulit merancang sistem transportasi massal dengan halte yang letaknya sangat dekat. Biasanya Anda perlu berjalan kaki ke halte terdekat (sekitar 50 meteran) ketika ingin berganti jalur. Di Korea Selatan, manusia-manusianya mau berjalan kaki dari stasiun subway ke halte bis terdekat. Bahkan saya pernah berjalan kaki dari satu stasiun subway ke stasiun subway yang lain karena sebenarnya line mereka tidak berpotongan di daerah itu, tetapi di daerah lain yang sangat jauh. Karena saya harus menyingkat waktu, saya memilih untuk tidak menunggu sampai ke titik perpotongan kedua line. Saya berjalan kaki saja. Menghemat waktu.

Sekali lagi, ujung-ujungnya manusianya lagi :)

Perilaku Marketer yang Menggelikan

Ada perilaku orang marketing (tidak semua) yang menurut saya menggelikan.

Misalnya, saya datang ke sebuah showroom sepeda motor, hendak membeli sepeda motor yang sesuai dengan spesifikasi yang saya inginkan. Kemudian pegawai marketing datang dan melayani pertanyaan-pertanyaan saya. 

Lalu sampailah pada satu saat ketika si pegawai marketing berkata: "Motor yang tipe X ini (yang harganya lebih mahal) lebih bagus pak daripada Y (lebih murah) karena bla bla bla....".

Jreengg.... ini tidak masuk akal di saya sebagai konsumen. Kenapa si pegawai marketing melakukan diskriminasi terhadap barang dagangannya sendiri? Apa dia gak khawatir nanti motor X dan Y berantem malam-malam di showroom? Kalau memang barang Y lebih jelek, kenapa kamu jual? Begitu bukan logikanya? Kenapa kamu tidak mendeskripsikan keunggulan masing-masing barangmu? Ini malah menjelek-jelekkan barang daganganmu sendiri....

Ada lagi, masih kasus sepeda motor. Cerita dari istri saya. "Kalau motor Y ini suaranya lebih nyempreng... masih bagusan motor X", kata marketingnya. Istri saya tanya "Kok bisa begitu? Mesinnya sama nggak?" Si marketing menjawab: "Sama, mbak". Lha kalo sama mesinnya, yang bikin suara Y nyempreng apaan? 

Tidak ada jawaban.

Dan sampai pada akhirnya saya tahu bahwa mereka mengejar komisi penjualan.... Penjualan motor X memberikan mereka komisi lebih besar daripada motor Y. Owalaaahhh..... pantesan....

Tentang Memilih Tempat Duduk di Gereja

Sebenarnya ini bisa terjadi di berbagai event, tetapi saya khususkan ini untuk kasus gereja.

Ketika Anda (yang Kristen) masuk ke dalam gereja, dan mendapati banyak tempat kosong, posisi mana yang Anda pilih?

Saya mengamati posisi yang dipilih oleh para jemaat gereja umumnya lebih banyak memilih di BELAKANG daripada di DEPAN. Mungkin karena memang tidak mau tampil menonjolkan diri, jadi memilih di tempat-tempat yang tersembunyi. Baiklah, dengan asumsi di belakang ada speaker, saya kira memilih tempat di belakang masih cukup proporsional. Tetapi ada kekurangannya: wajah pendeta (kalo di gereja Protestan) atau pastor (kalau di Katolik) akan terlihat lebih kecil. Jadi buat yang lebih menghayati Firman Tuhan yang disampaikan dengan mendengar sambil menatap wajah pendeta/pastor, duduk di belakang itu sepertinya tidak menguntungkan.

Tetapi saya tidak akan membahas duduk di depan atau di belakang. Terlalu banyak motif Anda duduk di belakang atau di depan.

Saya ingin membahas satu bagian khusus yaitu: setiap baris kursi. Akan duduk di manakah Anda ketika menemukan sebuah baris kursi terlihat belum diisi orang? Catatan, kursi tersebut bisa diisi dari sebelah kanan dan sebelah kiri, alias tidak mepet ke tembok.

Saya yakin 99% Anda akan memilih di UJUNG baris, bisa ujung kiri atau ujung kanan. Alasannya? Jelas, supaya ketika kebaktian/misa selesai, Anda dengan mudah keluar tanpa terhalang orang lain.

Dulu seorang dosen matematika di ITB (seorang ibu, Ibu Dumaria Hutabarat) pernah mengatur pengisian kursi kosong waktu acara penyambutan mahasiswa baru (waktu itu masih di Gedung Serba Guna) tahun 1997. Beliau selalu berteriak: "Isi dulu yang TENGAH !!!!"


Ini menarik buat saya, dan sepertinya banyak mahasiswa ITB, bahkan sampai lulus pun, gak tau filosofi "mengisi tengah duluan". Terbukti, di berbagai event setelah acara tersebut, mahasiswa-mahasiswa ITB masih sering mengisi "ujung / pinggir duluan", sementara bagian tengahnya kosong. 

Dengan mengisi bagian tengah, dijamin Anda tidak akan jarang terganggu orang lain yang akan mengambil tempat duduk di tengah, kecuali dalam keadaan khusus. Anda memang akan terhalang ketika keluar dari baris setelah kebaktian/misa selesai. Tetapi mana yang lebih bermasalah bagi Anda? Ritual Anda terganggu orang lewat, atau proses Anda pulang dari gereja terganggu orang di sebelah Anda?


Tuesday, January 6, 2015

Tiket Mahal Meningkatkan Keselamatan Penerbangan, Apa Iya?

Membaca artikel di media massa tentang Menteri Perhubungan Ignatius Jonan yang akan mengeluarkan peraturan tarif batas bawah penerbangan, dengan argumen bahwa hal tersebut dapat meningkatkan keselamatan penerbangan, menurut saya, sedikit banyak itu betul, terutama untuk beberapa tindakan keselamatan berikut ini:

1. Pembatalan / delay penerbangan karena hambatan alam
2. Melakukan perawatan suku cadang pesawat sesering mungkin.

Saya coba menggunakan informasi dari sini untuk membuat simulasi pembiayaan maskapai penerbangan.

Pesawat biasanya masuk ke maintenance center yang namanya Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO). Artikel tersebuut menyebutkan bahwa perawatan overhaul pesawat Boeing 737 bisa mencapai $2,000,000. Kalau kita pakai kurs USD1 = Rp. 12.500,- maka biaya sekali overhaul adalah Rp. 25,000,000,000. Itu overhaul. Kalau maintenance biasa adalah $500.000 atau Rp. 6,250,000,000. 

Jadi misalnya nih, tarif penerbangan murah untuk rute Jakarta - Yogyakarta yang menggunakan pesawat dengan kapasitas Boeing 737 dengan kapasitas 200 penumpang, dipatok tarifnya Rp. 400.000. Ini berarti, untuk menutup biaya maintenance biasa, pesawat tersebut harus mengangkut 15625 penumpang, alias pesawat harus terbang 79 kali (pembulatan ke atas). Asumsi, pesawat terbang seminggu 14 kali (Jakarta - Yogya dan Yogya - Jakarta). Berarti biaya maintenance biasa akan tertutup dalam waktu 5-6 minggu (pembulatan ke atas). Kasar-kasarnya, pesawat baru bisa maintenance dalam waktu paling cepat 5-6 minggu.

Bagaimana dengan overhaul? Dengan cara berhitung yang sama, maka biaya overhaul akan tertutup dalam waktu kira2 22 minggu (hampir 5.5 bulan)

Bagaimana dengan tarif Rp. 1.000.000 ? Dengan asumsi jumlah penumpang dan frekuensi penerbangan yang sama, biaya maintenance akan tertutup dalam waktu sekitar 2-3 minggu dan overhaul dalam 8-9 minggu.

Sekali lagi, simulasi di atas dilakukan dengan asumsi pesawat full capacity (200 penumpang) dan terbang rutin 2 kali sehari. Lalu, saya belum menghitung berapa biaya lainnya termasuk avturnya :)

Jika pesawat hanya didedikasikan untuk satu rute penerbangan, for the sake of service quality, maka dengan tarif murah seperti di atas, dan kapasitas penumpang yang belum tentu penuh, maka akan berat bagi maskapai untuk membiayai perawatan pesawat.

Saya melihat satu cara yang "sangat gila" dengan benar-benar mengesampingkan masalah service kepada penumpang, yaitu ketepatan waktu, dilakukan oleh Singa Udara (saya samarkan saja namanya). Satu pesawat mereka bisa melayani berbagai rute kombinasi "basah" dan "kering" dalam satu hari. Saya perkirakan minimal satu pesawat mereka bisa melayani minimal 3-4 rute sehari dan dilakukan tiap hari. Dengan biaya murah, tentu saja. Dengan jumlah pesawat mencapai 500-an, saya kira sulit untuk maskapai lain bersaing dengan maskapai ini di level harga murah di negeri ini. Tapi dugaan saya, metode ini efektif untuk menutup biaya maintenance. Tetapi ya itu tadi, ketepatan waktu dikorbankan. Tetapi ini mungkin cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki pepatah sakti "Biar lambat asal selamat".... 

Simulasi ini hanya saya buat untuk jenis keselamatan penerbangan yang berkaitan dengan maintenance pesawat. Tidak untuk jenis keselamatan penerbangan yang lain, seperti misalnya keamanan dari tindakan penembakan (seperti yang pernah dialami oleh Malaysia Airlines tahun 2014 dan juga Korean Air di tahun 1980-an). 

Perhitungan tarif yang dikaitkan dengan lamanya biaya maintenance tertutup sebenarnya sangat penting. Maskapai tidak perlu melakukan "pemaksaan terbang" alias "kejar setoran" apabila cuaca tidak memungkinkan untuk terbang. Berbagai cerita yang saya dengar tentang pilot Indonesia adalah: mereka sangat berani terbang bahkan dalam cuaca yang buruk. Salut, tetapi sebaiknya maskapai tidak "memanfaatkan" keberanian mereka dengan pertaruhan nyawa seluruh penumpang. Lebih baik delay / cancel daripada tidak sampai.

Semoga ke depan penerbangan Indonesia mencapai zero-accident tiap tahun.

Antara Janda Kembang, Pemuka Agama, Preman, dan Tamu Lelakinya

Ketika kita menerima secuil informasi tentang sebuah peristiwa, entah dari media massa, atau dari saksi matanya langsung, ada "sesuatu" dari dalam diri kita untuk menilai bahwa informasi yang kita dapatkan itu adalah informasi yang valid atau tidak. Secara umum, tingkat kepercayaan kita terhadap validitas sebuah informasi tergantung apakah parameter yang kita gunakan.

Saya ambilkan contoh. Sebuah peristiwa disampaikan oleh seorang pemuka agama, yaitu ada seorang tamu lelaki yang bertamu sampai larut malam di rumah seorang janda kembang. Peristiwa yang sama disampaikan oleh orang lain yang merupakan preman sekitar, yaitu: Si janda kembang kedatangan adik lelakinya yang datang dari jauh dan bertamu sampai pukul 23.00. Sang pemuka agama dan sang preman adalah sama-sama saksi mata peristiwa tersebut. Informasi mana pertama kali mendapatkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi di otak Anda (tanpa berpikir panjang)? Saya tebak: jika Anda orang yang menghormati sang pemuka agama lebih daripada sang preman, Anda akan mempercayai informasi dari sang pemuka agama. Informasi dari sang preman paling tidak Anda analisa dulu.

Lalu apa tindakan Anda? Jika Anda adalah jenis orang yang saya tebak tadi, Anda kemungkinan akan berpikir bahwa kedua tamu lelaki tersebut harus diusir, karena bisa menjadi aib untuk RT/RW Anda. 

"Level of believe" atas sebuah informasi ditambah dengan persepsi atas informasi yang Anda berikan level kepercayaan tersebut, ditambah pula dengan pengetahuan yang Anda punya, atau dengan kata lain, premis yang Anda pegang sebagai premis yang valid, dan pilihan tindakan yang Anda punya akan menentukan tindakan yang akan Anda ambil.

Dalam contoh janda kembang ini, Anda akan menempatkan informasi dari pemuka agama sebagai informasi yang lebih tinggi nilai kebenarannya (lebih bisa dipercaya) dibandingkan dengan informasi yang disampaikan oleh preman. Mungkin karena figur seorang pemuka agama yang dianggap pasti memberikan informasi yang akurat, takut api neraka sehingga tidak mudah berbohong membuat informasi yang diberikannya lebih layak dipercaya daripada sang preman.

Kemudian berikutnya, Anda memiliki satu set pengetahuan yang Anda anggap valid sebagai berikut:

1. Jika seorang janda kembang kedatangan tamu lelaki sampai tengah malam, maka mereka akan melakukan sesuatu yang sifatnya asusila (perzinahan).
2. Jika seorang janda kembang kedatangan saudara lelaki sampai tengah malam, maka mereka tidak akan melakukan tindakan asusila.
3. "Tengah malam" didefinisikan sebagai pukul 21.30 ke atas.

Kemudian Anda punya pilihan langkah yang harus Anda ambil: membiarkan, atau mengusir tamu-tamu sang janda kembang.

Akhirnya Anda mengambil keputusan untuk melakukan pengusiran terhadap para tamu sang janda kembang.

Apakah di sini Anda melakukan kesalahan? Ingat, saya tidak menyebutkan mana informasi yang benar. Di sini saya tidak membahas apakah keputusan Anda salah atau benar. Menurut Russel dan Norvig, tindakan Anda itu adalah tindakan yang rasional. Rasional menurut pengetahuan yang Anda miliki, dan cara Anda mempercayai sebuah informasi, dan pilihan aksi yang Anda lakukan.

Jadi, jika Anda melihat ada tindakan seseorang yang menurut Anda tidak benar, aneh, mungkin juga bejat menurut Anda, pahamilah bahwa itu adalah tindakan paling rasional yang bisa orang tersebut lakukan.