Friday, January 30, 2015

Miskin Kreativitas Musik Indonesia

Saya ini penggemar musik, terutama pop dan rock. Dan terutama lagi, musik-musik di era saya sekolah sampai kuliah dulu, era akhir 80-an sampai 2000-an awal. Musik di era itu sangat beragam genre-nya (eh, genre itu apa ya?). Saya tinggal pilih. Setiap genre selalu punya lagu-lagu unggulan. Sebut saja lagu-lagu Dewa dengan kreativitas Ahmad Dhani pada waktu itu yang selalu menampilkan inovasi-inovasi baru. KLa Project dengan kekuatan lirik dari Katon Bagaskara, yang memperkenalkan "pop alternatif". PADI, dengan permainan gitar dari Piyu yang menjadi favorit saya. Gigi, dengan Armand Maulana dan Dewa Bujana-nya., yang memadukan gaya pop, rock, dan jazz. Saya mengenal rock alternatif dari Gigi. Saya kenal rap ala Indonesia dari Iwa K. Saya kira berbahagialah generasi yang sempat menikmati musik di era-era tersebut. 

Tetapi belakangan ini kenikmatan telinga saya dalam mendengarkan musik-musik Indonesia agak terganggu, karena saya mendengar lagi lagu-lagu favorit saya di masa lalu dengan aransemen yang berbeda, dan improvisasi vokal yang terlalu dipaksakan. Aransemen yang sudah enak tertata dengan filosofi yang tepat, malah dirusak sehingga filosofi lagunya hilang. Esensinya hilang.

Bayangkan saja, lagu-lagu yang ketika diputar ulang, sempat mengingatkan kita kepada beberapa event dalam perjalanan hidup kita di masa lalu, tiba-tiba hadir kembali dalam kondisi aransemen yang lain, dengan kualitas lebih rendah, dan menghancurkan segala kenangan atas event-event itu? Gimana gak pengen gebukin si penyanyi?

Coba lihat lagu "Yogyakarta" yang dinyanyikan ulang oleh Ungu. Nilai 6 skala 10!! Harusnya nilai 4, tetapi lirik Katon membantu Ungu menaikkan rating nilainya di mata saya. Tetapi maaf, cuman mentok di 6. Saya kehilangan kesan merintih di lagu ini. Re-aransemennya menjadi terlalu rock. Aransemen rock di lagu ini sangat tidak cocok untuk tema merintih, kalo buat saya sih...

Saya menemukan lagi aransemen ulang "Mahadewi"-nya PADI, tetapi saya lupa nama penyanyinya. Penyanyinya wanita. Dan saya nilai lagu re-aransemen ini nilainya 5 skala 10. Terlalu banyak improvisasi vokal, musiknya terlalu mengada-ada. Makna aslinya hilang. Feeling saya pun ikut hilang -_-

Okelah, saya tidak bisa menyamaratakan bahwa re-aransemen seperti itu merusak lagu. Ada juga lagu-lagu yang bagus. "Cinta Kan Membawamu Kembali" milik Dewa 19 yang dinyanyikan ulang oleh Reza Artamevia termasuk bagus. Reza gitu loh. Saya tidak meragukan kualitas vokalnya. Re-aransemennya juga tidak mengubah makna. Tetapi saya tidak merasakan feelingnya, karena lagu ini aslinya dinyanyikan oleh pria, sehingga saya merasakan feeling sebagai pria. Ya itu tidak perlu terlalu jadi masalah....

Sebenarnya ada satu hal lagi yang menjadi perhatian saya. Saya melihat meningkatnya jumlah lagu re-aransemen akhir-akhir ini. Saya bisa menemukan paling tidak 10 buah lagu. Saya menduga, kalau saya rajin, saya bisa menemukan 20 buah lagu. Lirik sama, aransemen diganti, plus improvisasi vokal. Ada apa dengan pencipta lagu Indonesia? Mengapa mereka begitu "malas"? Ilham sedang susah ditemukan hari gini? Ke mana larinya ilham?

Kita tidak punya pencipta lagu sekelas Katon Bagaskara, atau sekelas Piyu PADI? Atau selevel Melly Goeslaw? What ??? Really ???
Saya menyaksikan banyak "polusi" pada lagu-lagu "baru tapi lama" ini. 

Saya juga sempat berpikir, kenapa penyanyi dan pencipta lagu masa kini ini tidak bisa "tenang" dulu.... Try to be original. Cari ilham dulu, kemudian menciptakan lagu yang orisinal. Mengapa mereka terburu-buru? Bukankah mencari ilham itu adalah pekerjaan sehari-hari penyanyi dan pencipta lagu? Katon Bagaskara melakukannya. Konon kabarnya, beberapa ilhamnya ditemukan di sekitaran Gunung Merapi (DIY). Lalu, kenapa pencipta-pencipta lagu ini tidak berdiam dulu di gunung? Atau merenung di pantai? Apakah ini dampak komersialisasi yang tidak mau tahu dengan proses mencari ide-ide segar dan orisinal? Yang ingin menghasilkan penghasilan dengan cepat? Atau penyanyi-penyanyi baru yang ingin terkenal dengan cara instan? Tanpa kekuatan filosofi bermusik yang orisinil? Entahlah... yang jelas, saya sebagai penikmat musik sangat menderita. Sakitnya tuh di sekujur tubuh, you know ?

Dalam pandangan saya, pencipta lagu itu sama levelnya dengan doktor. Mereka dituntut menemukan hal-hal baru. Saat ini saya melihat "doktor-doktor" musik ini tidak memperlihatkan kualitas sebagai doktor. Mereka "turun level" ke master, atau malah D3 dalam kasus musik. Hanya berani mengubah aransemen tanpa berpikir bahwa perubahan yang mereka lakukan malah merusak filosofi lagu. Tidak berani berfilosofi sendiri. Tetapi sama seperti doktor betulan, uang yang banyak datang dari pragmatisme, bukan dari filosofi. Ambil jalan gampang yang pragmatis, lalu sesegera mungkin jual. Dan "money come-come-laahh...." kata orang Singapur. Ya kalau masalahnya sudah masuk ke uang, saya mau protes apa? Hari gini apa-apa butuh uang hahaha.....

Anyway, sebagai penikmat musik, saya merindukan kekayaan inovasi musik Indonesia di era 80-an sampai awal 2000-an. Tapi tidak apa-apa. Memutar ulang lagu-lagu favorit saya dalam aransemen aslinya masih lebih menghibur daripada mendengarkan turunan-turunan aransemen yang merusak lagu.





1 comment:

  1. Jadi ingat ABBA. Mereka pergi ke pulau terpencil selama 6 bulan untuk bikin lagu-lagu. Lalu jadilah album mereka yang terkenal hingga masa kini.

    ReplyDelete