Friday, January 2, 2015

Tentang Pengambilan Kesimpulan

Jika Anda diberikan sebuah premis (saya sebut "premis pertama") seperti ini:
"Jika matahari berada di sebelah Timur, maka langit di Timur relatif lebih terang daripada di Barat."
Kemudian, Anda mengobservasi bahwa matahari saat ini berada di sebelah Timur. Apakah kesimpulannya? Kaidah logika yang namanya Modus Ponens membawa Anda kepada kesimpulan bahwa langit di Timur relatif lebih terang daripada di Barat.. Of course, tidak usah menghafal kaidah logika juga gua tau kok! Baiklah, common sense Anda berkata demikian.

Sekarang jika diberikan sebuah premis (saya sebut "premis kedua") seperti ini:
"Jika harga minyak dunia turun, maka harga sembako turun."
Kemudian Anda mengobservasi bahwa harga minyak dunia turun. Kesimpulan Anda adalah: harga sembako turunLho tapi kok harga sembako tidak turun-turun? Lalu Anda melakukan demonstrasi, menyalahkan Pemerintah, membuat status-status di media sosial dan sebagainya. Anda menggunakan waktu dan tenaga Anda untuk memprotes Pemerintah.

Di sini kita melihat bahwa pada premis pertama, ada satu keniscayaan yang jelas teramati. Matahari berada di sebelah timur jelas saja membuat langit di Timur menjadi lebih terang daripada di Barat. Itu kejadian serta-merta, dan natural.

Premis kedua, jika kita pikirkan baik-baik, terlihat bahwa antara antecedent (harga minyak dunia turun) dengan consequence (harga sembako turun) pertama-tama bukanlah kejadian sebab-akibat secara langsung. Masih ada beberapa kejadian di antara dua kejadian tersebut yang mestinya ada, sehingga hubungan antara antecendent dengan consequence-nya menjadi rangkaian kejadian sebab-akibat.

Bandingkan dengan premis ini (saya sebut "premis ketiga"):
"Jika harga minyak dunia turun, maka pendapatan per barrel yang diterima eksportir minyak menurun."
Hubungan sebab-akibat pada premis ketiga jauh lebih kuat daripada premis kedua. Kenapa? Karena pengertian "harga minyak" itu sebenarnya adalah "harga jual minyak". Pengertian "pendapatan" sebenarnya adalah uang yang diterima karena menjual sesuatu.

Lalu apa yang ingin saya sampaikan dari penjabaran di atas?

Saya ingin memperlihatkan bahwa ketika kita mulai mengambil kesimpulan, ada satu hal yang kita harus perhatikan: apakah premis yang kita punya itu mempunyai bukti yang kuat? Atau setidaknya, mempunyai dasar analisis yang logis? Yang lebih penting lagi: apakah legitimasi premis tersebut diterima banyak kalangan? Semakin kuat bukti dari premis yang kita punya, maka premis tersebut semakin punya legitimasi yang kuat untuk membawa kita menuju kesimpulan, yang tentu saja tingkat kebenarannya semakin tinggi. 

Banyak debat kusir di media sosial menjadi berkepanjangan, karena premis-premis yang dibawa masing-masing pihak tidak mempunyai dasar analisis dan bukti fisik yang kuat, dan yang terutama, premis-premis tersebut tidak mendapat penerimaan dari banyak orang. Contohnya, debat kusir antar agama, atau antar sekte dalam sebuah agama. Premis-premis yang dibawa adalah premis-premis yang sifatnya "keyakinan", yang tidak mendapat penerimaan dari kalangan yang menentangnya. Ya jelas, agama merupakan rangkaian konsepsi yang diyakini, dipercayai. Pembuktian atas fenomena agama pertama-tama didasarkan pada perasaan. Namun demikian, usaha-usaha untuk melakukan pembuktian secara ilmiah juga gencar dilakukan, untuk memperkuat legitimasi ajaran agama.

Namun ketika diumumkan adanya penemuan adanya fenomena alam tertentu, misalnya temuan-temuan arkeologi, kesimpulannya kemudian ditafsirkan sebagai bukti atas penggalan ayat/konsepsi dalam agama. Tetapi karena nature sebuah agama adalah keyakinan, maka lagi-lagi tafsiran yang dihasilkan adalah premis baru yang validitasnya highly debatable untuk banyak kalangan yang tidak meyakininya dan highly acceptable untuk banyak kalangan yang meyakininya. Akhirnya apa? Ya debat lagi.... :)

No comments:

Post a Comment