Sunday, February 7, 2016

Peradaban Instan

Kelihatannya ciri khas peradaban yang putus asa adalah ketika masyarakatnya mulai mengesampingkan proses. Dulu kita diajarkan orang tua kita bahwa untuk menjadi insinyur, kita harus menyelesaikan tahapan sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMA, sampai S1. Syukur-syukur sampai S2. Tentu saja, syaratnya adalah nilai-nilainya di atas nilai threshold.

Saat ini kita dihadapkan pada paradigma instan, pragmatis.Bagaimana kita mulai dicekoki jargon-jargon "menjadi kaya tanpa bekerja", "kita bisa kok menjadi pakar multimedia tanpa pernah mengenyam pendidikan di bidang tersebut", "kita bisa kok membuat robot tanpa harus belajar kinematika dan dinamika".

Benarkah kita dapat melangkahi step-step "konvensional" untuk mencapai level yang sama dengan orang-orang "konvensional"?

Benarkah kita dapat menjadi kaya seperti orang-orang kaya yang memiliki banyak perusahaan dan memulai usahanya dari jualan tahu keliling?

Mungkin bisa. Tetapi satu hal yang pernah saya dapatkan dari seorang rekan, bahwa satu hal yang tidak didapat orang yang menempuh jalan pintas adalah fundamental.Seorang pengusaha sukses pasti memiki fundamental berupa mentalitas seorang pengusaha. Artinya, dia pernah merasakan rugi Rp. 10 juta, kemudian bangkit, mungkin rugi lagi Rp. 20 juta, kemudian bangkit lagi, dan begitu seterusnya sampai akhirnya mencapai level eksistensi yang sekarang. Dan seorang kawan pernah bercerita bahwa orang tuanya pernah rugi sampai Rp. 10 milyar, tetapi tetap bangkit. Itulah fundamental seorang pengusaha. Kemampuan untuk bangkit tidak bisa didapatkan dengan instan, kalau kita baca dari biografi banyak pengusaha.

Apakah fundamental seperti itu bisa kita dapatkan dengan resep "kaya dengan cepat"?
Apakah orang-kaya-mendadak ini tahan menghadapi kerugian sampai Rp. 100 juta misalnya?
Saya sendiri tidak percaya.

Semester ini saya banyak mendapatkan "bujuk rayu" dari beberapa mahasiswa, memohon agar nilai akhirnya dinaikkan karena dia ingin mengambil SKS lebih banyak sehingga cepat lulus. Misalnya dari nilai E ke C.

What ???? Are you nuts?

Saya harus menyenangkan Anda dengan menipu Anda dengan mengataan bahwa Anda memiliki fundamental pemahaman ilmu padahal sebenarnya tidak? Bahwa pada kenyataannya, Anda tidak mengikuti proses dan lebih layak dapat E, kemudian Anda berharap mendapat belas kasihan dan mendapat C dengan diberi tugas tambahan? Anda berpikir bahwa kualitas Anda terdongkrak dengan tugas tambahan yang hanya seminggu? Anda merasa bisa lebih baik daripada kawan Anda yang mendapat C dengan proses 1 semester? Dan Anda menyukai itu?

Dunia sudah gila. 

Untunglah, mahasiswa tersebut masih bisa saya nasehati. Ini mulai menyadarkan saya, betapa peradaban kita sudah mulai tidak menghargai proses. Dunia mulai meninggalkan fundamental-fundamental yang dibutuhkan untuk eksis. 

Bahkan beberapa orang mulai berpikir untuk melakukan jalan pintas menuju surga "hanya" dengan membawa bom dan membunuh banyak orang "kafir"....

Thursday, September 24, 2015

Kegunaan Sekolah di Era Pragmatisme

Menurut Anda, apa gunanya Anda bersekolah?


Saya yakin, kalau Anda ditanya seperti itu, jawaban Anda adalah: untuk menggapai cita-cita, untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan jawaban lain yang mirip.

Pada tahun 1980-an sampai 1990-an, jawaban tersebut masih relevan, karena paradigma pendidikan saat itu adalah "pendidikan sebagai bekal untuk mendapatkan pekerjaan". Lebih sederhana, bersekolah itu gunanya adalah untuk mendapatkan ijasah untuk lolos tes lamaran kerja.

Paradigma tahun 2000-an ke atas sudah sangat berubah. Menjadi pegawai perlahan-lahan mulai dianggap sebagai sebuah "kehinaan", karena kita harus ikut apa kata atasan. Paradigma pendidikan tahun 2000-an sudah mulai mengarah kepada munculnya enterpreneur, juga banyaknya pekerjaan alternatif selain pekerjaan yang "ijasah-minded", yang pendapatannya dapat lebih besar daripada pekerjaan yang "ijasah-minded" tersebut.

Paradigma berpikir yang baru ini kelihatannya berjalan beriringan dengan cara berpikir pragmatis di kalangan siswa sekolah. Banyak siswa sekolah yang beranggapan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang tidak relevan dengan cita-cita mereka, apalagi cita-cita untuk menjadi enterpreneur, atau pekerjaan-pekerjaan alternatif, seperti misalnya menyanyi, itu tidak perlu mereka ingat-ingat sampai tua.

Lihat saja beberapa liputan di TV yang sering kita lihat tentang bagaimana generasi muda saat ini banyak yang tidak hafal lagu "Indonesia Raya", sebuah lagu yang ketika tahun 1980-an dapat membuat Anda tidak naik kelas jika tidak dapat menyanyikannya :)

Contoh terbaru (September 2015) adalah tweet seorang yang katanya adalah seorang artis ( identitas saya sensor) seperti ini:



                                          



Bukankah ini adalah pengetahuan paling dasar waktu tahun 1980-an sampai 1990-an, yang bisa membuat kita tidak naik kelas kalau tidak tahu? Sudah bisa ditebak, komentar-komentar dari para eks-siswa 1980-an dan 1990-an seperti apa. Akun ini di-bully. "Pengetahuan dasar saja tidak tahu.", "Bego", dan sumpah serapah lainnya. Ya seperti itulah bentuk umpatannya.

Ya, ini sebenarnya adalah situasi yang sangat menyedihkan. Tetapi dari kacamata pragmatisme, ini masuk akal, terutama jika kita mengaitkan urgensi pengetahuan dasar ini terhadap potensi penghasilan di masa depan. Pertanyaan-pertanyaan berikut sering didengungkan di era pragmatisme seperti sekarang ini:

1) Apakah tahu arti Tut Wuri Handayani dengan benar akan membuatmu kaya? 

                        Ternyata tidak. 

2) Apakah fasih menyanyikan lagu "Indonesia Raya" akan membuatmu terkenal? 

                         Tidak juga. 

Lalu apa gunanya kita habiskan space otak untuk hafalan-hafalan seperti itu? Lebih fundamental, apa gunanya kita sekolah kalau apa yang bisa kita raih itu bisa didapat tanpa ilmu-ilmu dari sekolah?

Untuk era pragmatisme ini, jawaban saya simple kok: supaya Anda tidak terlihat bego di pergaulan yang lebih luas, terutama jika Anda seorang public figureTerus terang, lingkungan kerja Anda, apapun pekerjaan Anda, masih diisi dengan orang-orang keluaran pendidikan masa Orde Baru, yang notabene kebanyakan sangat fasih pengetahuan-pengetahuan mendasar seperti itu. Ingat, persepsi kolega dan konsumen kepada Anda sangat penting. Anda dapat kehilangan income ketika persepsi orang terhadap Anda jelek.

Okelah, Anda tidak perlu fasih tentang Hukum Newton atau teori-teori termodinamika. Tetapi jika Anda ketahuan tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya, sementara Anda sudah dari lahir tinggal di Indonesia, dan ternyata Anda punya ijasah S-1, saya akan berpikir: "Anda itu tahunya apa sih?"

Silakan menjadi artis, public figure, pengusaha, atau apapun. Akan tetapi, akan lebih baik jika Anda juga memiliki pengetahuan dasar yang baik untuk dapat menarik simpati kolega-kolega yang berpengaruh ke mata encaharian Anda. Kasihan sekali jika Anda terkenal karena kebegoan Anda. Apalagi jika  pembelaan Anda ketika dibully menjadi selucu ini:




Lha kalo menjadi bego bisa mendatangkan uang banyak, kenapa harus sekolah? Kenapa harus pintar?

Ya kalau itu saya sudah tidak bisa menjawab :)

Silakan menjadi bego, karena menjadi bego itu hak asasi manusia :D

Tuesday, June 30, 2015

Memegang teguh idealisme?

Ketika ada orang menyebut dirinya seorang penyayang binatang, saya langsung menduga bahwa dia vegetarian. Kenapa? Penyayang binatang kok. Pasti gak makan makanan yang berasal dari binatang. Tapi nyatanya, dia makan ayam geprek di kantin kampus! Lha, ayam itu binatang bukan?

Ketika ada orang menyebut dirinya humanis, saya langsung menduga bahwa dia  anti pembunuhan manusia dan menghormati hak-hak asasi manusia. Well, ketika undang-undang pernikahan untuk LGBT disahkan di Amerika Serikat, dia mendukung setengah mati. Tetapi ketika ada korban perang anak-anak di Timur Tengah, dia diam saja.

Ketika ada orang menyebut dirinya religius, paham isi kitab suci, paham isi kitab-kitab selain kitab suci. Sudah berguru agama dari guru-guru agama dari seluruh dunia, saya menduga dia tidak akan pernah melakukan kejahatan hal-hal yang tidak religius. Ternyata..... #ahsudahlah.

Ah, memang. Memegang teguh sebuah idealisme itu susah. Terkadang kita harus fair ketika "lawan" kita masuk dalam ranah yang harus didukung oleh idealisme kita itu.

Rasa-rasanya lebih enak tidak mendeklarasikan diri pada satu idealisme tertentu, karena itu akan mengikis kemampuhan berpikir.

We have our own brain. We can make our analysis. Also, we can do some revisions of our ideas. Katanya manusia itu unik. Gimana sih?

Tetapi jika saya dipaksa untuk memegang sebuah idealisme, maka idealisme saya cukup dinyatakan dengan satu huruf: "I".

Friday, March 27, 2015

Selamatkan Logika Mahasiswa dari Media!

Ada dua hal yang saya kuatirkan mengenai mahasiswa rata-rata yang saya temui di Indonesia (Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta) dalam hal tulis-menulis:

1. Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (SPOK) yang kacau balau.
2. Alur pemikiran yang tidak runut.

Masih banyak sebenarnya hal yang mengkhawatirkan, tetapi saya fokus pada dua hal di atas yang terpenting menurut saya.

Baiklah, bagian pertama, SPOK kacau balau. Saya ambilkan contoh:
Sistem yang diterapkan adalah penggunaan sensor panas pada sistem.
Mungkin bagi Anda yang sudah melanglang buana di dunia tulis-menulis, atau bahkan beberapa diantara Anda yang sering membaca, Anda akan tertawa karena kalimat ini sungguh menggelikan. Akan tetapi, ini realitanya. Bagi beberapa mahasiswa, kalimat ini tidak aneh.

Saya pernah melakukan tes  kecil-kecilan di kelas dengan menunjukkan kalimat di atas kepada mahasiswa saya. Hasilnya, bagi mereka, kalimat tersebut sudah mengandung subjek, predikat, dan objek. Padahal, kalimat di atas hanya terdiri atas subjek saja. Kemudian, bagian "pada sistem" di akhir kalimat juga sebaiknya dibuang. Pada intinya, kalimat di atas kekurangan predikat. "Kelucuan" berikutnya adalah "penggunaan sensor panas" dianggap sebagai "sistem".

Kebiasaan menulis dengan SPOK yang amburadul ini bahkan ada yang menggiring pada bagian kedua, yaitu alur pemikiran yang tidak runut. Kasus-kasus pada bagian ini tidak sebanyak pada bagian pertama. Namun, dari pengamatan saya yang parsial ini, jumlahnya cukup signifikan. Ketidak-runutan ini saya amati berakar dari mudah pecahnya pemikiran mahasiswa akan ide-ide yang muncul belakangan pada saat menulis. Pada awal penulisan, mereka begitu konsisten dengan ide awal. Akan tetapi, karena mereka tidak melakukan pembatasan masalah, ide-ide tersebut pecah tidak karuan sehingga terkesan tidak fokus. Yang lebih parah, ketidakfokusan ini berakibat tidak sinkronnya antara bagian akhir tulisan dengan bagian awalnya.

Saya memiliki hipotesis bahwa inilah buah dari seringnya mahasiswa mengakses media-media audio-visual seperti televisi. Beberapa sampel berita (terutama politik) sering menampilkan ketidak-konsistenan alur berpikir pada sebuah topik. Kebiasaan media menggiring opini dengan menampilkan data-data yang disajikan dengan pilihan kata-kata yang "menarik" dan "memancing emosi" saya duga menyebabkan pola pikir pemirsanya (terutama mahasiswa) tidak terbiasa melakukan check-and-recheck atas informasi yang mereka terima. Proses check-and-recheck yang seharusnya mereka lakukan ternyata harus dilakukan dengan membaca. Pada titik ini, saya menduga (lagi) bahwa mahasiswa tidak membaca dengan seksama informasi-informasi lain yang disajikan dalam bentuk tulisan. Hal ini disebabkan oleh pikiran mereka yang terpecah dan mengikuti gejolak darah mudanya yang emosional karena penyisipan kata-kata provokatif yang ditampilkan oleh media.

Yang saya jabarkan di atas adalah informasi audio-visual yang di-check-and-recheck dengan informasi-informasi berupa tulisan. Bagaimana dengan informasi yang berasal dari internet, yang kebanyakan masih berupa informasi tertulis? 

Dalam kaitannya dengan informasi tertulis yang berasal dari internet, saya menduga adanya kecenderungan mahasiswa untuk mencerna informasi-informasi yang sifatnya easy reading, alias mudah dibaca dan dimengerti, tetapi tanpa pendalaman. Informasi seperti ini biasanya disajikan oleh situs-situs berita yang hanya bertujuan mengejar traffic. Sebagai contoh, ada informasi yang disebarkan sebuah situs berita yang "menyajikan berita dengan super cepat" tentang keputusan pemerintah mengenai, misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Karena para mahasiswa mengetahui informasi dari sumber-sumber yang easy reading, mereka tidak mengecek lagi ke sumber utama keputusan pemerintah tersebut, yaitu Keppres no. xxx tahun yyyy yang membahas kenaikan harga BBM. Mengapa? Hal ini terjadi karena informasi dalam keppres tersebut disajikan dalam bahasa hukum / bahasa birokrasi, sehingga kebanyakan mahasiswa merasa kesulitan untuk mencerna setiap kalimat dalam keppres tersebut. Padahal, keppres itulah sumber yang paling bisa dipercaya untuk mendapatkan informasi. Media hanyalah lidah kesekian dalam penyampaian informasi tersebut.


Media-media audio-visual dan internet pada hakekatnya adalah media-media yang ditujukan untuk tujuan-tujuan bisnis dengan menggalakkan aktivitas-aktivitas seperti mengejar follower dan mencari sensasi. Ketiga hal ini berujung pada keuntungan material pemilik media. Karena kaitannya dengan bisnis, maka hal pertama yang dititikberatkan adalah kemudahan pada informasi yang diberikan: kemudahan akses, kemudahan dibaca dan dimengerti dalam waktu singkat, dan yang paling penting adalah kemudahan bagi informasi untuk memancing datangnya  follower , yang ujung-ujungnya, hanya akan berefek pada naiknya pemasukan dari sektor periklanan. Namun di sisi lain, media-media ini "mendidik" mahasiswa menjadi manusia-manusia yang berpikir pendek, mudah terprovokasi, dan kurang memiliki logika yang runut. Media tidak akan memberikan informasi yang terlalu dalam, karena mereka sendiripun juga dikejar-kejar deadline. Selain itu, informasi yang terlalu dalam, apalagi yang disajikan dengan bahasa yang rumit ala akademisi jelas tidak menguntungkan bagi bisnis.

Di sinilah mahasiswa harus disadarkan dan logika mahasiswa harus diselamatkan kalau mau bangsa ini memiliki cendekiawan-cendekiawan yang ..... (isi sendiri yang baik-baik saja, seperti misalnya: santun, pintar, dan lain-lain)


Thursday, February 26, 2015

Keputusan Sebaiknya Berbasis Gosip, Opini, Hipotesis, atau Verified Information?

Setelah menjabarkan cara berpikir saya dalam melihat informasi dalam tulisan ini (LINK), saya memiliki ide untuk melanjutkan tulisan tersebut ke dalam satu fenomena yang biasa kita temukan sehari-hari: pengambilan keputusan (decision making).

Contoh sederhana tentang pengambilan keputusan ini misalnya dalam kasus pengumuman harga bensin Premiun naik per pukul 00.00 nanti malam. Apa yang terjadi kemudian? Dari pengalaman kita melihat adanya antrian pembeli bensin Premium di berbagai SPBU malam hari sebelum kenaikan harga terjadi. Ini adalah pengambilan keputusan berdasarkan verified information. Informasinya sudah jelas, diumumkan oleh pihak yang informasinya dapat dipercaya (Pemerintah).

Bagaimana dengan kejadian, misalnya, harga minyak dunia naik? Logika umum masyarakat akan mengatakan bahwa "sebentar lagi harga bensin Premium juga naik". Bahkan mungkin ada yang lebih presisi prediksinya: "seminggu lagi harga bensin Premium naik". Akhirnya, terjadilah antrian yang lebih padat dari biasanya, meskipun mungkin tidak sebanyak ketika ada pengumuman Pemerintah. Ini adalah contoh pengambilan keputusan berbasis gosip atau opini. 

Lalu apakah pengambilan keputusan berbasis verified information itu lebih baik daripada berbasis gosip atau opini?

Saya pikir jika seorang pemain saham harus melaukan verifikasi informasi keuangan dunia, jangan-jangan dia malah mengambil keputusan yang tepat di saat yang salah, sehingga bukannya mendapat keuntungan, tetapi malah kerugian. Agak sulit membayangkan seorang pemain saham (atau valuta asing) mengambil keputusan berbasis verified information. Dalam pengalaman, mereka biasanya mengambil keputusan berdasarkan gosip. Perlu diakui, dan berdasarkan pengalaman, bahwa gosip berkembang lebih cepat daripada verified information.

Kita juga pernah mengalami masa-masa di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat lama sekali mengambil keputusan. Saya menduga bahwa beliau berusaha mengambil keputusan berdasarkan verified information, bukan berdasarkan gosip, opini, atau hipotesis. Presiden Jokowi mungkin juga mengalami hal yang sama, tetapi saya tidak bisa membayangkan jenis verified information apa yang ditunggu pak presiden dalam masalah perseteruan Polri dan KPK tempo hari.

Kalangan akademisi adalah kalangan yang mempunyai "tradisi" mengambil keputusan berdasarkan verified information. Masuk akal sebenarnya, karena mereka sebenarnya adalah "pemelihara ilmu pengetahuan", sehingga validitas sebuah teori dalam bidang ilmu mereka sebisa mungkin dijaga agar selalu konsisten.

Berbeda dengan kalangan pebisnis. Saya memperhatikan kalangan ini jarang menunggu verified information dalam mengambil keputusan, dan kadang-kadang melakukan gambling, ketika informasi yang didapat (misalnya tentang kompetitor) dirasa cukup akurat (meskipun sebenarnya masih dalam tataran hipotesis). Tetapi mengingat sempitnya waktu untuk mengambil keputusan, mereka tidak mungkin memverifikasi semua informasi yang mereka dapatkan. Bisa-bisa peluang mereka diserobot para kompetitor.

Yang menjadi masalah di sini adalah ketika sebuah profesi mengambil keputusan di luar pakemnya. Ini terutama untuk kalangan akademisi, terutama yang saya amati, dalam bidang sosial politik (sorry kalau sebut nama disiplin ilmu!). Seringkali beberapa dari mereka menjelma menjadi komentator kacangan dan berkomentar tidak seperti layaknya seorang akademisi: hanya berdasarkan opini dan gosip. Masih lebih baik jika mereka berkomentar berdasarkan sebuah hipotesis. Jarang dari komentator-komentator tersebut yang sabar menunggu informasi itu terverifikasi sebelum mereka berkomentar. Tiba-tiba mereka menjadi sok mengetahui segala hal dan membuat analisis yang tidak berdasarkan metode ilmiah. Apakah ini demi sebuah "pencarian akan honor komentator" sehingga mereka rela melepaskan prinsip dasar dalam berpikir dan mengambil keputusan? Ah, tidak tahu saya. Saya tidak mau bergosip.



Gosip, Opini, Hipotesis, atau Verified Information?

Setidaknya ada empat kelas informasi yang saya jadikan pegangan untuk menilai apakah informasi yang saya baca/dengar/terima itu adalah informasi yang perlu disikapi secara serius atau tidak serius:

1) Gosip
2) Opini
3) Hipotesis
4) Verified Information

Gosip, adalah ketika berita yang kita baca/dengar/terima itu tidak jelas asalnya dari mana. Tidak jelas bukti fisiknya bagaimana. Informasi seperti ini bukan hanya terkait dengan infortainment atau info selebriti, tetapi juga untuk informasi-informasi yang terlihat bombastis secara ilmiah, padahal tidak ada verifikasi ilmiahnya.

Opini, adalah ketika berita yang kita baca/dengar/terima itu merupakan hasil pemikiran seseorang. Bedanya dengan gosip, kalo opini ini jelas pemikiran siapa. Kalau gosip, meskipun berbentuk seperti opini, kita tidak tahu siapa pencetus utamanya / dari mana asalnya. Opini tidak perlu diajukan sebagai verified information, kecuali jika ada situasi-situasi yang mendesak. Jika informasi tersebut terlihat ilmiah, tetapi hanya di-sounding oleh satu atau beberapa pihak tanpa proses verifikasi ilmiah, ya saya anggap itu opini.

Hipotesis, adalah penjelasan yang diajukan untuk menerangkan sebuah fenomena (terjemahan dari Wikipedia). Mengapa istilahnya "penjelasan yang diajukan"? Karena tahapnya belum melalui tahapan "verifikasi oleh komunitas yang relevan dan ilmiah". Mungkin saja sebuah hipotesis sudah melalui tahapan-tahapan ilmiah, tetapi belum mendapatkan verifikasi oleh komunitas yang relevan dan ilmiah.

Verified Information, adalah penjelasan terhadap sebuah fenomena, di mana datanya jelas berasal dari mana (where), datanya apa (what), diambil kapan (when), diambil oleh siapa(who), mengapa data seperti itu yang muncul (why), dan bagaimana data itu bisa muncul (how). Interpretasi atas data tersebut sudah dikonfirmasi oleh komunitas yang relevan dan ilmiah. Agak berat bagi sebuah informasi untuk mencapai level "verified". Bahkan untuk sebuah informasi yang sudah dianggap kebenaran bagi banyak orang, saya akan sangat berhati-hati untuk mengkategorikannya sebagai "verified". Paling banter saya masukkan ke dalam "hipotesis". 

Catatannya adalah: keempat kategori di atas sifatnya adalah falsifiable, dapat dipersalahkan, dapat direvisi. Ya, ini kan bicara tentang informasi terkait dengan kadar keilmiahannya. Ya mestinya falsifiable. Tinggal masalahnya adalah seberapa tinggi tingkat keakuratan yang dimiliki oleh informasi tersebut. Hal lain adalah masalah interpretasi atas informasi. Ini juga menentukan tingkat keakuratan, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa setiap informasi yang kita terima memiliki kandungan interpretasi yang tentu saja berbeda untuk otak setiap orang.

Tentu saja, saya akan menganggap paling serius verified information. Hipotesis, ya.... saya catat saja, perlu diperhatikan serius, meskipun tidak seserius verified information. Opini, sebagai bahan pertimbangan. Gosip? Ah, buat senang-senang saja ^_^

Friday, February 20, 2015

Pendidikan untuk Berpikir Merdeka

Hari ini saya disibukkan dengan aktivitas memeriksa tugas mata kuliah Sistem Kendali Industri (S1). Ada 55 berkas yang harus saya periksa. Ketika sampai pada berkas ke-18, ada pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik saya: Apakah saya harus memberi nilai rendah untuk jawaban-jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan? Dan sebaliknya, apakah saya harus memberi nilai tinggi untuk jawaban-jawaban yang sesuai dengan apa yang saya pikirkan?

Pertanyaannya sendiri membutuhkan analisa mendalam yang saya pikir juga sulit dilakukan dalam waktu satu minggu. Mereka harus membaca banyak referensi untuk menjawab pertanyaan saya. Akhirnya, bisa ditebak. Jawaban yang saya terima tidak sesuai dengan harapan saya. Tetapi dengan demikian, apakah saya harus memberikan nilai rendah?

Saya akhirnya berusaha melihat dari sisi lain: bagaimana cara mereka berpikir sehingga sampai pada jawaban yang kurang benar ("kurang benar", karena memang sebenarnya tidak terlalu salah, tetapi kalau dibilang benar juga tidak bisa), atau cara mereka berpikir sehingga sampai pada jawaban yang hampir benar.

Akhirnya saya sampai pada satu hipotesa: para mahasiswa terjebak pada pola pikir yang tidak membebaskan. Mereka berpikir jawaban apa yang benar menurut saya/dosen. Mereka tidak berpikir jawaban apa yang benar menurut versi mereka. Ini pola pikir yang saya duga sudah ditanamkan di sistem pendidikan kita. Guru selalu benar, murid harus mengikuti kebenaran yang disampaikan guru. Tanpa sedikitpun gairan brainstorming di situ. Sedikit banyak, itu juga yang saya alami dahulu sebelum SMU. Waktu di SMU? Thanks God, SMU saya (SMU Kolese De Britto, Yogyakarta)-lah yang mengajarkan saya berpikir merdeka.

Jawaban-jawaban yang saya terima adalah jawaban-jawaban yang tidak merdeka, penuh ketakutan akan nilai jelek, takut keluar dari pakem. Padahal saya berharap mereka startdari common sense yang mereka punya, bukan dari common sense yang saya punya. Jelas, mereka tidak tahu apa yang saya pikirkan. Saya justru ingin tahu bagaimana kemerdekaan mereka berpikir membuat mereka menjawab dengan lebih bergairah, bersemangat, dan, ini mungkin agak sedikit lebay, membuat mereka mencintai subyek yang saya ajarkan.


Sehingga akhirnya bagaimana? Jawaban mereka hanya mencontek dari slide PPT saya, menyimpulkan sendiri tanpa berusaha "menyelam" ke dalam referensi-referensi lain yang bebas berkeliaran di jagad maya internet, yang mungkin membantah validitas bahan kuliah yang saya sampaikan. Mengapa tidak? Saya bukan Tuhan. Saya bisa salah. Mereka pikir sayalah kebenaran itu. Atau jangan-jangan gaya mengajar saya yang mengesankan bahwa "sayalah kebenaran"? Hahahaha.....

Tetapi memang, kemerdekaan berpikir bukan berarti berpikir tanpa dasar. Ia adalah pola pikir yang dibangun atas fakta-fakta ilmiah yang valid. Kemerdekaan berpikir memberikan interpretasi manusia atas fakta-fakta ilmiah tersebut. Saya ambil contoh Isaac Newton. Lihatlah bagaimana Newton memodelkan buah apel yang jatuh ke tanah dari pohon sebagai bukti eksistensi gaya. "Gaya" itu apa? Itu adalah model yang diusulkan (alias hasil interpretasi) Newton untuk merepresentasikan penyebab tarik-menarik antar benda. Lain Newton, lain Albert Einstein. Einstein memiliki interpretasi berbeda atas penyebab tarik-menarik tersebut: pembelokan ruang-waktu (stop! sampai di sini saya sudah tidak mengerti, hehehe...)

Entahlah. Yang paling jelas sekarang, tugas berat menanti di depan. Saya harus menanamkan "kemerdekaan berpikir", meskipun dalam bidang teknik yang secara natural lebih rigid daripada ilmu-ilmu non-eksak. Tetapi kemerdekaan berpikir itu sangat perlu. Bagaimana Anda bisa memecahkan masalah jika berpikir saja tidak merdeka? Terpaku pada doktriin-doktrin dan teori-teori yang falsifiable?

Kamu harus berpikir merdeka. Karena ketika kamu berpikir merdeka, maka kamu benar-benar sudah menjadi manusia. Dan tujuan pendidikan yang benar adalah membentuk manusia yang benar-benar menjadi manusia.