Ketika ada orang menyebut dirinya humanis, saya langsung menduga bahwa dia anti pembunuhan manusia dan menghormati hak-hak asasi manusia. Well, ketika undang-undang pernikahan untuk LGBT disahkan di Amerika Serikat, dia mendukung setengah mati. Tetapi ketika ada korban perang anak-anak di Timur Tengah, dia diam saja.
Ketika ada orang menyebut dirinya religius, paham isi kitab suci, paham isi kitab-kitab selain kitab suci. Sudah berguru agama dari guru-guru agama dari seluruh dunia, saya menduga dia tidak akan pernah melakukan
Ah, memang. Memegang teguh sebuah idealisme itu susah. Terkadang kita harus fair ketika "lawan" kita masuk dalam ranah yang harus didukung oleh idealisme kita itu.
Rasa-rasanya lebih enak tidak mendeklarasikan diri pada satu idealisme tertentu, karena itu akan mengikis kemampuhan berpikir.
We have our own brain. We can make our analysis. Also, we can do some revisions of our ideas. Katanya manusia itu unik. Gimana sih?
Tetapi jika saya dipaksa untuk memegang sebuah idealisme, maka idealisme saya cukup dinyatakan dengan satu huruf: "I".