Saturday, January 31, 2015

Bagaimana Negara Demokrasi Seharusnya Bersikap?

Pemerintah yang dihasilkan melalui sistem demokrasi harus menuruti apa yang diinginkan mayoritas rakyat di sebuah negara. Anda setuju?

Saya setuju. Karena sistem demokrasi memang secara praktis dimenangkan oleh kaum mayoritas rakyat di sebuah negara.

1. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah orang miskin, maka Pemerintah harus membuat berbagai cara agar masyarakatnya menjadi, saya katakan, lebih kaya.

2. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah orang bodoh, maka Pemerintah harus memperbanyak sekolah, menyediakan banyak guru agar yang bodoh menjadi lebih pintar.

3. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah orang malas, maka Pemerintah harus mencari cara agar orang malas tersebut menjadi lebih rajin.
4. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah orang-orang pengecut, maka Pemerintah harus mencari cara agar yang pengecut menjadi lebih berani.
5. Jika mayoritas rakyat sebuah negara adalah maling, maka Pemerintah harus menata sistem keamanan termasuk hukum dan perundang-undangan, sehingga jumlah maling berkurang, bahkan rakyat yang tadinya maling, pensiun menjadi maling.
6. (bisa ditambahi sendiri).

Masalahnya:

1. Apakah mayoritas rakyat yang miskin memang menginginkan menjadi lebih kaya?
2. Apakah mayoritas rakuat yang bodoh memang menginginkan menjadi lebih pintar?
3. Apakah mayoritas rakyat yang malas memang menginginkan menjadi lebih rajin?
4. Apakah mayoritas rakyat yang pengecut memang menginginkan menjadi lebih berani?
5. Apakah mayoritas rakyat yang maling memang menginginkan pensiun menjadi maling?
6. (bisa ditambahi sesuai tambahan sebelumnya di atas)

Pemerintah yang dihasilkan melalui sistem demokrasi memang seharusnya memenuhi keinginan mayoritas rakyat di negara penyelenggara demokrasi.



Nasionalisasi Perusahaan Asing?



Beberapa hal yang saya masih bingung untuk bersikap jika ada ajakan mendukung "nasionalisasi perusahaan asing" adalah:

1. Apakah nasionalisasi itu selalu menguntungkan negara? Lha kalo alat produksinya diambil semua oleh manajemen perusahaan lama, pemilik baru bisa ganti alat produksi dengan yang lebih baik? (Oh tentu bisa sih, biaya lagi. Ga apa-apa, resiko memang diambil pengambil keputusan, nenek-nenek sedang salto juga tau, hehe...).

2. Apakah nasionalisasi itu menguntungkan rakyat? Saya tidak ragu kalau yang seperti ini. Minimal saya bisa koar-koar ke teman-teman saya dari luar negeri bahwa negara kami akhirnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Yang saya ragu itu: rakyat yang diuntungkan itu rakyat yang mana?

3. Apakah saudara-saudara dan kenalan-kenalan saya yang bekerja di perusahaan tersebut masih bisa mendapatkan fasilitas dan suasana kerja yang (minimal) sama dengan manajemen perusahaan sebelumnya? Tidak semua manajemen asing itu bagus memang, tetapi perlu diakui kebanyakan dari manajemen mereka itu rapi, nggak mbulet. Tetapi saya tidak mau jika ajakan mendukung nasionalisasi perusahaan asing itu menyebabkan saudara saya kehilangan pekerjaan. Kasihan anak-anaknya. Tetapi saya sadar bahwa segala perubahan itu pasti ada resikonya.

4. Saya tidak mau munafik. Pertanyaan ini pasti muncul di kepala saya: kalau saya mendukung, saya dapat apa?


Sumber: [LINK]

Pertanyaannya lagi adalah: nasionalisasi perusahaan asing apakah memang perlu? Apakah memang inilah kemauan rakyat? Nah, kalau memang ini maunya rakyat, setelah dinasionalisasi, apakah rakyat tahu perusahaan ini harus diapakan? Sama seperti pada waktu era Reformasi 1998. Setelah Soeharto turun, rakyat bingung langkah-langkah ideal berikutnya apa. Sementara rakyat berpikir, politikus-politikus oportunis (yang memang sudah mempersiapkan diri) langsung mengambil alih kendali negara. 

Jadi point pentingnya adalah: ketika Pemerintah berkeputusan "nasionalisasi perusahaan asing", apakah kita segenap tumpah darah Indonesia ini siap? Siap lahir batin? Siap teknologi? Siap perencanaan? Siap manajemen? dan "siap-siap" yang lainnya, termasuk Siap Grak !!!

Intermezzo tentang Jalanan Yogya

Minggu pagi, menyambut bulan kedua tahun 2015, sepulang dari gereja saya berkeliling kota Yogya bersama istri dan ibu saya. Sembari berkeliling saya menyadari sesuatu hal yang saya tidak pernah sadari, yaitu bahwa kita tidak mungkin bisa menemukan segmen jalan di Yogya yang hanya dilewati kendaraan dalam 1 arah saja (1 lajur).

Seiring dengan itu ialah bahwa kita juga akan sulit menemukan jalan dua arah / dua lajur di Yogya.

Kok bisa begitu?

Ya, karena setiap jalan di Yogya sebenarnya mempunyai "batas maya" di bagian pinggirannya, yang sering digunakan oleh kendaraan bermotor, sepeda, atau becak untuk berjalan melawan arus. Akibatnya, jalan yang harusnya dibuat satu arah, akan menjadi tiga arah (selang-seling). Yang harusnya dibuat dua arah akan menjadi empat arah (selang-seling).

Bahkan untuk segmen jalan yang agak-agak "berbahaya" seperti jalan layang di dekat Stasiun Lempuyangan, saya pernah menemukan motor yang melawan arus. Tapi jarang memang. Jangan-jangan jalan layang di Ring Road Utara (persimpangan Jl. Magelang) dan di daerah dekat Janti bisa "ketularan" dalam waktu dekat, hahaha.... 

Sayangnya, saya tidak membawa kamera (masih di toko), jadi agak sulit mengabadikan momen-momen "spesial" ini. :)


Friday, January 30, 2015

KKNI: Beginilah Cara Pemerintah Memetakan Kompetensi Anda

KKNI adalah kependekan dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Ini adalah konsep pemetaan kualifikasi kompetensi tenaga kerja Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden RI no. 8 tahun 2012 [LINK]. 

Konsep ini membuat penyetaraan kemampuan tenaga kerja di Indonesia yang mendapatkan kemampuan tersebut dengan berbagai cara, yaitu melalui pendidikan, otodidak, industri, dan profesi. Ini dapat dimengerti, karena dalam kenyataan, misalnya, seseorang yang fasih pemrograman C++ mempunyai kemungkinan mendapatkan kemampuan memprogram C++ dengan berbagai cara: belajar sendiri dari buku-buku yang dijual di pasaran (otodidak), atau mengikuti kursus atau mendapatkan mata kuliah (akademis).

Lebih jauh, kemampuan tersebut, sepertinya dipandang perlu oleh Pemerintah untuk diganjar sebuah formalisasi berupa ijasah, atau sertifikat.

Mari kita perhatikan gambar berikut ini:


Sumber: [LINK]

Gambar (A) di atas adalah 9 level KKNI. Level 1 adalah level dengan kualifikasi paling rendah, dan level 9 adalah level dengan kualifikasi paling tinggi. Dalam kasus pendidikan formal, level 1 itu adalah level tenaga kerja dengan level kualifikasi SMP. Level 9 adalah level tenaga kerja dengan level kualifikasi S-3.

Level inilah yang akan menjadi target pencapaian kompetensi setiap tenaga kerja Indonesia. Jadi singkatnya, Pemerintah berusaha melakukan penyetaraan level kualifikasi terhadap tenaga kerja yang mendapatkan kemampuan/skill-nya melalui pendidikan formal maupun tidak melalui pendidikan formal. Dalam gambar (B) di atas, terlihat bahwa level operator di industri (yang mendapatkan kemampuannya melalui training industri) menempati level 1~3 (SMP ~ D1, bisa dilihat lebih detail pada gambar di bawah).

Apa konsekuensi logis dari konsep ini?
Menurut saya, konsekuensinya adalah dunia pendidikan akademis mau tidak mau harus melakukan penyesuaian terhadap "dunia lain" (industri, otodidak, persatuan profesi) sedemikian sehingga ketika lulusan pendidikan akademis (formal) dipertemukan dengan orang-orang dari industri dengan level KKNI sama, kemampuan mereka juga harus sama. Itu harapan Pemerintah. Itu dari kacamata saya, seorang dosen.

Konsekuensi yang sama juga berlaku di dunia pendidikan informal (otodidak), industri, maupun persatuan profesi.

Sekali lagi, perlu dicatat bahwa "penyetaraan" di sini diformalisasi melalui adanya ijasah, sertifikat, dan dokumen lain yang merepresentasikan level KKNI. Gambar di bawah ini memperlihatkan proses formalisasi penyetaraan level KKNI yang nantinya akan diatur oleh sebuah badan yang namanya Badan Kualifikasi Nasional Indonesia.


Sumber: [LINK]

Ke depan, direncanakan peta penyetaraan berbasis KKNI ini akan seperti gambar di bawah ini.


Sumber: [LINK]

Setiap jenjang / level KKNI mempunyai target yang dinamakan capaian pembelajaran, yang dipetakan seperti gambar berikut ini.


Sumber: [LINK]

Saya agak malas menerangkan bagian ini. Jadi lebih baik readers melihatnya di [LINK] :)

Berikut ini adalah contoh poin-poin capaian pembelajaran yang diharapkan dari seseorang yang memiliki kualifikasi KKNI level 6 (alias, setara S-1):

1) Mampu  mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan IPTEKS pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi
2) Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural
3) Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok
4) Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.

Berikut ini adalah contoh poin-poin kualifikasi yang diharapkan dari seseorang yang memiliki kualifikasi KKNI level 7 (alias, setara S-1 ++, alias profesional):

1) Mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan IPTEKS untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi.
2) Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan monodisipliner.
3) Mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis dengan akuntabilitas dan tanggung jawab penuh atas semua aspek yang berada di bawah tanggung jawab bidang keahliannya.

Berikut ini adalah contoh poin-poin kualifikasi yang diharapkan dari seseorang yang memiliki kualifikasi KKNI level 8 (alias, setara S-2):

1) Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan teruji. 
2) Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter atau multidisipliner .
3) Mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi masyarakat dan keilmuan, serta mampu mendapat pengakuan nasional maupun internasional.

Berikut ini adalah contoh poin-poin kualifikasi yang diharapkan dari seseorang yang memiliki kualifikasi KKNI level 9 (alias, setara S-3):


1) Mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni BARU di dalam bidang keilmuannya atau praktek profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji. 
2) Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter, multi atau transdisipliner.

3) Mampu mengelola, memimpin, dan mengembangkan riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia, serta mampu mendapat pengakuan nasional maupun internasional. 

Kesimpulan saya: konsep ini secara umum bagus. Tinggal bagaimana pelaksanaannya. Seperti biasa, kita bagus dalam membuat konsep, tetapi memble dalam pelaksanaannya. Kemudian berikutnya, terbuka peluang bagi Anda yang tidak sempat merasakan pendidikan yang tinggi, untuk disamakan levelnya melalui konsep KKNI ini. Dalam persaingan setelah AFTA 2015 mulai diberlakukan, hal ini penting. Setidaknya Anda mengetahui posisi Anda di tingkat nasional.

Tetapi catatan di sini adalah: konsep ini memandang kualitas tenaga kerja secara formal. Anda harus mempunyai sertifikat yang menerangkan bahwa Anda memang setara di level KKNI tertentu. Tetapi memang ini adalah konsep untuk pekerja. Pengusaha saya kira tidak memerlukan kualifikasi pribadi seperti ini. Justru konsep ini memudahkan pengusaha: mereka membutuhkan rekruitmen tenaga kerja di level berapa.

Miskin Kreativitas Musik Indonesia

Saya ini penggemar musik, terutama pop dan rock. Dan terutama lagi, musik-musik di era saya sekolah sampai kuliah dulu, era akhir 80-an sampai 2000-an awal. Musik di era itu sangat beragam genre-nya (eh, genre itu apa ya?). Saya tinggal pilih. Setiap genre selalu punya lagu-lagu unggulan. Sebut saja lagu-lagu Dewa dengan kreativitas Ahmad Dhani pada waktu itu yang selalu menampilkan inovasi-inovasi baru. KLa Project dengan kekuatan lirik dari Katon Bagaskara, yang memperkenalkan "pop alternatif". PADI, dengan permainan gitar dari Piyu yang menjadi favorit saya. Gigi, dengan Armand Maulana dan Dewa Bujana-nya., yang memadukan gaya pop, rock, dan jazz. Saya mengenal rock alternatif dari Gigi. Saya kenal rap ala Indonesia dari Iwa K. Saya kira berbahagialah generasi yang sempat menikmati musik di era-era tersebut. 

Tetapi belakangan ini kenikmatan telinga saya dalam mendengarkan musik-musik Indonesia agak terganggu, karena saya mendengar lagi lagu-lagu favorit saya di masa lalu dengan aransemen yang berbeda, dan improvisasi vokal yang terlalu dipaksakan. Aransemen yang sudah enak tertata dengan filosofi yang tepat, malah dirusak sehingga filosofi lagunya hilang. Esensinya hilang.

Bayangkan saja, lagu-lagu yang ketika diputar ulang, sempat mengingatkan kita kepada beberapa event dalam perjalanan hidup kita di masa lalu, tiba-tiba hadir kembali dalam kondisi aransemen yang lain, dengan kualitas lebih rendah, dan menghancurkan segala kenangan atas event-event itu? Gimana gak pengen gebukin si penyanyi?

Coba lihat lagu "Yogyakarta" yang dinyanyikan ulang oleh Ungu. Nilai 6 skala 10!! Harusnya nilai 4, tetapi lirik Katon membantu Ungu menaikkan rating nilainya di mata saya. Tetapi maaf, cuman mentok di 6. Saya kehilangan kesan merintih di lagu ini. Re-aransemennya menjadi terlalu rock. Aransemen rock di lagu ini sangat tidak cocok untuk tema merintih, kalo buat saya sih...

Saya menemukan lagi aransemen ulang "Mahadewi"-nya PADI, tetapi saya lupa nama penyanyinya. Penyanyinya wanita. Dan saya nilai lagu re-aransemen ini nilainya 5 skala 10. Terlalu banyak improvisasi vokal, musiknya terlalu mengada-ada. Makna aslinya hilang. Feeling saya pun ikut hilang -_-

Okelah, saya tidak bisa menyamaratakan bahwa re-aransemen seperti itu merusak lagu. Ada juga lagu-lagu yang bagus. "Cinta Kan Membawamu Kembali" milik Dewa 19 yang dinyanyikan ulang oleh Reza Artamevia termasuk bagus. Reza gitu loh. Saya tidak meragukan kualitas vokalnya. Re-aransemennya juga tidak mengubah makna. Tetapi saya tidak merasakan feelingnya, karena lagu ini aslinya dinyanyikan oleh pria, sehingga saya merasakan feeling sebagai pria. Ya itu tidak perlu terlalu jadi masalah....

Sebenarnya ada satu hal lagi yang menjadi perhatian saya. Saya melihat meningkatnya jumlah lagu re-aransemen akhir-akhir ini. Saya bisa menemukan paling tidak 10 buah lagu. Saya menduga, kalau saya rajin, saya bisa menemukan 20 buah lagu. Lirik sama, aransemen diganti, plus improvisasi vokal. Ada apa dengan pencipta lagu Indonesia? Mengapa mereka begitu "malas"? Ilham sedang susah ditemukan hari gini? Ke mana larinya ilham?

Kita tidak punya pencipta lagu sekelas Katon Bagaskara, atau sekelas Piyu PADI? Atau selevel Melly Goeslaw? What ??? Really ???
Saya menyaksikan banyak "polusi" pada lagu-lagu "baru tapi lama" ini. 

Saya juga sempat berpikir, kenapa penyanyi dan pencipta lagu masa kini ini tidak bisa "tenang" dulu.... Try to be original. Cari ilham dulu, kemudian menciptakan lagu yang orisinal. Mengapa mereka terburu-buru? Bukankah mencari ilham itu adalah pekerjaan sehari-hari penyanyi dan pencipta lagu? Katon Bagaskara melakukannya. Konon kabarnya, beberapa ilhamnya ditemukan di sekitaran Gunung Merapi (DIY). Lalu, kenapa pencipta-pencipta lagu ini tidak berdiam dulu di gunung? Atau merenung di pantai? Apakah ini dampak komersialisasi yang tidak mau tahu dengan proses mencari ide-ide segar dan orisinal? Yang ingin menghasilkan penghasilan dengan cepat? Atau penyanyi-penyanyi baru yang ingin terkenal dengan cara instan? Tanpa kekuatan filosofi bermusik yang orisinil? Entahlah... yang jelas, saya sebagai penikmat musik sangat menderita. Sakitnya tuh di sekujur tubuh, you know ?

Dalam pandangan saya, pencipta lagu itu sama levelnya dengan doktor. Mereka dituntut menemukan hal-hal baru. Saat ini saya melihat "doktor-doktor" musik ini tidak memperlihatkan kualitas sebagai doktor. Mereka "turun level" ke master, atau malah D3 dalam kasus musik. Hanya berani mengubah aransemen tanpa berpikir bahwa perubahan yang mereka lakukan malah merusak filosofi lagu. Tidak berani berfilosofi sendiri. Tetapi sama seperti doktor betulan, uang yang banyak datang dari pragmatisme, bukan dari filosofi. Ambil jalan gampang yang pragmatis, lalu sesegera mungkin jual. Dan "money come-come-laahh...." kata orang Singapur. Ya kalau masalahnya sudah masuk ke uang, saya mau protes apa? Hari gini apa-apa butuh uang hahaha.....

Anyway, sebagai penikmat musik, saya merindukan kekayaan inovasi musik Indonesia di era 80-an sampai awal 2000-an. Tapi tidak apa-apa. Memutar ulang lagu-lagu favorit saya dalam aransemen aslinya masih lebih menghibur daripada mendengarkan turunan-turunan aransemen yang merusak lagu.





Sunday, January 25, 2015

Jokowi, KPK, Polri, dan Truf

Gonjang-ganjing di level kepemimpinan NKRI yang saya amati sejak jaman Reformasi 1998, membawa saya ke satu pendekatan analisis: "Truf Analysis". Truf, sebuah permainan kartu yang sangat saya gemari di masa kuliah dulu, adalah permainan yang dimainkan oleh 4 orang, di mana masing-masing mempunyai target bidding yang jika terpenuhi, maka akan memberikan nilai positif, jika tidak, maka nilainya negatif.

Saya tidak berpanjang lebar menjelaskan permainan truf. Inti permainan ini adalah: ketika kita punya sekelompok kartu (heart/spades/dll) yang menjadi kelompok kartu truf dan kita memiliki urutan kartu-kartu truf kuat (As, K, Q, J, atau kombinasi-kombinasinya), maka kita memiliki peluang untuk mencapai tujuan mencapai nilai plus yang tinggi (goal bidding), tergantung kemampuan kita memanajemen pengeluaran kartu-kartu truf tersebut. Karena bisa saja meskipun kita punya kartu truf, tetapi kita tergelincir karena kelihaian pihak lawan untuk "mencuri kartu truf kita dengan keluaran kartu truf yang mereka punya". Kemampuan kawan-kawan kuliah saya dulu di Himpunan Mahasiswa Elektro ITB benar-benar membuka mata saya bahwa pemegang truf kuat belum tentu menang.... :)

Ini pendekatan yang paling pas saya kira untuk menggambarkan beberapa kejadian di pemerintahan, seperti:
1. Kenapa Budi Gunawan tiba-tiba menjadi tersangka pada saat diajukan sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi.
2. Kenapa Kabareskrim Polri tiba-tiba mencokok Bambang Widjojanto (BW) dengan tuduhan kasus lama.
3. Kenapa Presiden Jokowi tidak memiliki sikap tegas dalam pernyataannya setelah peristiwa penangkapan BW.

Tiga itu dulu. Sebenarnya banyak kejadian masa lalu yang menjadi tanda tanya publik, karena tidak masuk di logika.


Sebenarnya tulisan ini agak basi. Semua orang mungkin sudah bisa mengira-ngira permainan apa yang terjadi. Saya hanya ingin membuat suatu formalisasi teori atas perkiraan-perkiraan banyak orang.

Pendekatan teori saya ini saya simplifikasi ke dalam satu kalimat, yaitu:
Setiap institusi negara mempunyai catatan kesalahan institusi lain yang dapat menjadi "kartu truf" apabila suatu saat institusi tersebut sedang terancam.
Paling gampang memang antara KPK dan Polri. Banyak pertanyaan publik tentang KPK di masa lalu seperti ini:
Katanya si A tersangka korupsi, kok tidak segera ditangkap ?
Atau seperti ini:
Kasus korupsi H ini sudah banyak saksi-saksinya, tetapi kenapa belum ada satupun tersangka?
Dan banyak pertanyaan lainnya.

Readers, saya mempunyai pendekatan teori yang saya yakini mengenai hubungan antar-institusi atau hubungan antar-pribadi yang terlibat dalam penyelenggaraan negara (eksekutif, yudikatif, legislatif) di mana masing-masing institusi mempunyai sistem "pertahanan" terhadap "serangan-serangan" dari luar institusi, yaitu dengan cara menyimpan data-data yang mereka miliki tentang institusi lain. Data-data tersebut dapat merupakan data mengenai "borok" seseorang di institusi lain yang mereka anggap "agresif". Pengertian "borok" di sini relatif. Sesuatu yang sebenarnya bukan borok, bisa saja dimodifikasi sebagai borok. Tergantung kelihaian pakar hukum yang dibayar :)

Borok tersebut bisa saja berupa transaksi bisnis, pertemuan-pertemuan (yang mana sebenarnya hanya ketemu di kerja bakti kelurahan, tetapi bisa menjadi "senjata" bagi lawan politik), sampai pada kisah-kisah "teman tapi mesra" di dalam atau di luar pekerjaan, atau jika ada yang sempat mengetahui masa kecil seorang tokoh yang ternyata suka baca stensilan bokep, itu juga bisa jadi senjata. Selama ada sesuatu yang kelak berguna sebagai senjata, maka simpanlah data itu. Jangan dibuka sekarang. Nanti saja truf-nya dibuka jika diperlukan. Begitulah kira-kira prinsip dasar "pertahanan" sebuah institusi lembaga penyelenggara negara kita.

Saya yakin, lembaga-lembaga seperti KPK dan Polri pun melakukan hal yang sama, dengan cara profesionalnya masing-masing. Profesional? Ya, memang sebagai lembaga negara, dalam melakukan "serangan" ke institusi lain, cara-cara mereka haruslah profesional. Bukan model-model edit gambar ketua KPK dan seorang peserta kontes kecantikan. Bukan. Bukan itu. Ini secara profesional. KPK melakukan penyadapan. Itu profesional, sesuai undang-undang. Polisi melakukan penyelidikan tindak kriminal. Itu juga profesional.

Yang menarik adalah, ketika mereka seharusnya melakukan action, mereka malah menunda-nunda. Publik bertanya, apa yang mereka tunggu sebenarnya? Jawaban saya: mereka menunggu diserang. 

Adakah yang masih ingat jaman dahulu, kapan Tommy Soeharto ditangkap polisi setelah buron gara-gara sebuah kasus? Sehari sebelum kapolri baru diganti! Suatu kebetulan yang luar biasa tentunya. Saya tidak bisa memberi kepastian tentang kenapa event tersebut begitu pas. Saya hanya mencurigai kapolri yang lama waktu itu sengaja mengulur waktu sampai dia diganti. Dia tidak mau terkena imbas penangkapan seorang anak mantan presiden terkemuka di negara ini. Itu teori saya.

Nah, pola yang sama juga digunakan oleh lembaga-lembaga penyelenggara negara lainnya, termasuk Presiden. Apa yang sebenarnya terjadi ketika Presiden Jokowi mengajukan seorang yang jelas-jelas masuk dalam daftar penyelidikan KPK terkait rekening gendut? Seorang yang dari dulu dikenal bersih tiba-tiba melakukan sebuah hal konyol? Jelas ada kekuatan besar yang akan menyerang balik dirinya melalui data-data yang sudah lama dikumpulkan mengenai Jokowi sebelum menjadi presiden.

Saya bandingkan dengan Basuki Tjahaja Purnama (BTP alias Ahok), sang gubernur DKI. Kenapa dia begitu berani mengambil keputusan, bahkan sampai melawan partai induknya sendiri (Gerindra) dan melawan DPRD? Terlepas dari prinsip pribadinya yang anti-korupsi dan memang berani berantem, saya melihatnya sebagai seorang yang data-data keborokannya minim (semoga!) dan sulit digunakan oleh lawan-lawan politiknya untuk menyerang balik.

Ada apa dengan Jokowi? Apakah ada data-data borok pribadi yang siap diluncurkan ketika dia melawan sebuah kekuatan yang lebih masif, katakanlah PDIP dan Megawati-nya? Bisa jadi. Baik borok beneran maupun borok yang dimodifikasi. Intinya, bisa jadi Jokowi melihat ada potensi serangan balik yang akan diterimanya ketika dia melakukan sesuatu yang pro-rakyat dan kontra-oligarkhis partai.

Saya tidak tahu apa yang dibicarakan Presiden Jokowi dengan Wakapolri dan ketua KPK pasca penangkapan BW. Yang jelas, statement-nya yang sangat normatif menandakan sebuah tekanan besar, tekanan yang menurut teori saya, berasal dari "database" yang dimiliki kekuatan-kekuatan masif (partai misalnya ?) mengenai borok-borok (sekali lagi, pure borok, atau borok modifikasi) Jokowi sewaktu Pilpres, atau bahkan Pilkada DKI, atau bahkan Pemilihan walikota Solo?

Ini dulu analisa yang bisa saya kupas. Permainan masih berlanjut, dan pemberantasan korupsi tidak semudah itu ternyata...

Sunday, January 18, 2015

Kompleksitas Transportasi Massal di Indonesia

Transportasi massal adalah sebuah solusi untuk mengatasi kemacetan akibat banyaknya kendaraan di sebuah kota. Sebuah kota yang besar, apalagi sampai selevel metropolitan / megapolitan sudah jelas harus menerapkan transportasi massal.

Dari pengalaman saya melihat transportasi massal di Seoul, Busan (Korea Selatan), dan Singapura, saya melihat bahwa nilai jual sebuah sistem transportasi massal yang ideal adalah:

Lebih murah, lebih cepat, lebih nyaman

Lebih murah, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, Anda harus mengeluarkan biaya lebih sedikit ketika menggunakan transportasi massal dibandingkan dengan ketika menggunakan kendaraan pribadi. Biaya kendaraan pribadi tersebut pertama-tama adalah bahan bakar (BBM), dan biaya-biaya lainnya termasuk biaya service kendaraan yang harus disisihkan untuk setiap kilometer yang ditempuh (ini mungkin susah menghitungnya, dan memang kebanyakan orang tidak menghitung komponen biaya ini).

Lebih cepat, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, Anda menempuhnya lebih cepat daripada ketika menggunakan transportasi massal. Ini sangat terasa ketika A dan B adalah titik yang sangat jauh. Tangerang ke Bekasi misalnya (ini beneran, saya tidak sedang menghina Bekasi).

Lebih nyaman, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, perjalanan Anda adalah perjalanan yang lebih nyaman daripada ketika Anda menggunakan kendaraan pribadi. Ini mungkin menjadi faktor yang kurang diprioritaskan. Tetapi kalau diadakan survey kepada pengendara mobil, kenyamanan adalah satu faktor pertimbangan mereka menggunakan mobil.

Menurut saya, pengadaan transportasi massal di megapolitan seperti Jakarta tidak dapat langsung mengejar ketiga persyaratan tersebut. Tetapi paling tidak faktor harga murah bisa lebih diprioritaskan lebih dahulu. 

Satu kekaguman saya pada sistem transportasi massal di Korea Selatan adalah integrasinya dengan Sistem Informasi. Bagaimana bisa? Sistem informasi di Korea Selatan memungkinkan seorang penumpang membayar 50% lebih murah ketika mereka melakukan perjalanan sambung-menyambung dari trayek satu ke trayek lain. Jadi misalnya Anda melakukan perjalanan dari A --> B --> C --> D dengan biaya masing-masing rute adalah 1000 won (jadi total biaya tanpa discount 3000 Won), Anda hanya perlu membayar 1000 Won (A-->B) + 200 Won (B-->C) + 200 Won (C--D) = 1400 Won. Setengah harga! Mereka harus berterima kasih kepada sistem informasi mereka yang handal.

Yang menjadi masalah berat di Jakarta adalah moda transportasi massalnya hanya Bus dan Commuter yang jumlahnya terbatas tanpa dukungan sistem informasi yang integrated, yang tidak memungkinkan pemotongan harga ketika orang ingin berpindah dari commuter ke bus atau sebaliknya. Ini yang menyebabkan biaya transportasi massal masih lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kalau saya bisa menempuh jarak 10 km dengan menghabiskan bensin 1/2 liter, alias Rp. 3800,- (patokan harga premium Rp. 7600), buat apa saya bayar moda transportasi yang tarifnya lebih mahal?

Gara-gara contoh barusan, saya melihat ada masalah bagi terselenggaranya transportasi massal: harga BBM. Kenapa di Korea Selatan transportasi massalnya efektif? Salah satunya juga karena harga BBM di sana bisa mencapai Rp. 20.000 per liter (di atas $1, tarif rata2 subway 1000 Won = $0.93). Jangan-jangan, selama harga BBM kita masih di bawah Rp. 15.000 per liter, transportasi massal belum menjadi pilihan mau sebanyak apapun bus yang disediakan, karena biaya penggunaan kendaraan pribadi lebih murah. Dulu pak Jokowi sewaktu masih menjadi Gubernur DKI pernah mengatakan bahwa patokan tarif monorail adalah $1 alias Rp. 12.000. Ini baru cocok ketika jarak yang ditempuh melebihi harga 1,6 liter bensin (tarif 1 l = Rp. 7600). Jadi misalnya sebuah kendaraan menghabiskan 1 liter bensin per 15 km, jarak ekonomis antar stasiun/halte ya... 24 km. Bandingkan dengan jarak antar stasiun subway di Busan: 1 - 3 km.

Masalah lain yang menurut saya menjadi syarat utama suksesnya penerapan transportasi massal sebenarnya adalah manusia-nya sendiri. Percuma pemerintah menerapkan transportasi massal kalau manusianya enggan berjalan kaki. Sangat sulit merancang sistem transportasi massal dengan halte yang letaknya sangat dekat. Biasanya Anda perlu berjalan kaki ke halte terdekat (sekitar 50 meteran) ketika ingin berganti jalur. Di Korea Selatan, manusia-manusianya mau berjalan kaki dari stasiun subway ke halte bis terdekat. Bahkan saya pernah berjalan kaki dari satu stasiun subway ke stasiun subway yang lain karena sebenarnya line mereka tidak berpotongan di daerah itu, tetapi di daerah lain yang sangat jauh. Karena saya harus menyingkat waktu, saya memilih untuk tidak menunggu sampai ke titik perpotongan kedua line. Saya berjalan kaki saja. Menghemat waktu.

Sekali lagi, ujung-ujungnya manusianya lagi :)

Perilaku Marketer yang Menggelikan

Ada perilaku orang marketing (tidak semua) yang menurut saya menggelikan.

Misalnya, saya datang ke sebuah showroom sepeda motor, hendak membeli sepeda motor yang sesuai dengan spesifikasi yang saya inginkan. Kemudian pegawai marketing datang dan melayani pertanyaan-pertanyaan saya. 

Lalu sampailah pada satu saat ketika si pegawai marketing berkata: "Motor yang tipe X ini (yang harganya lebih mahal) lebih bagus pak daripada Y (lebih murah) karena bla bla bla....".

Jreengg.... ini tidak masuk akal di saya sebagai konsumen. Kenapa si pegawai marketing melakukan diskriminasi terhadap barang dagangannya sendiri? Apa dia gak khawatir nanti motor X dan Y berantem malam-malam di showroom? Kalau memang barang Y lebih jelek, kenapa kamu jual? Begitu bukan logikanya? Kenapa kamu tidak mendeskripsikan keunggulan masing-masing barangmu? Ini malah menjelek-jelekkan barang daganganmu sendiri....

Ada lagi, masih kasus sepeda motor. Cerita dari istri saya. "Kalau motor Y ini suaranya lebih nyempreng... masih bagusan motor X", kata marketingnya. Istri saya tanya "Kok bisa begitu? Mesinnya sama nggak?" Si marketing menjawab: "Sama, mbak". Lha kalo sama mesinnya, yang bikin suara Y nyempreng apaan? 

Tidak ada jawaban.

Dan sampai pada akhirnya saya tahu bahwa mereka mengejar komisi penjualan.... Penjualan motor X memberikan mereka komisi lebih besar daripada motor Y. Owalaaahhh..... pantesan....

Tentang Memilih Tempat Duduk di Gereja

Sebenarnya ini bisa terjadi di berbagai event, tetapi saya khususkan ini untuk kasus gereja.

Ketika Anda (yang Kristen) masuk ke dalam gereja, dan mendapati banyak tempat kosong, posisi mana yang Anda pilih?

Saya mengamati posisi yang dipilih oleh para jemaat gereja umumnya lebih banyak memilih di BELAKANG daripada di DEPAN. Mungkin karena memang tidak mau tampil menonjolkan diri, jadi memilih di tempat-tempat yang tersembunyi. Baiklah, dengan asumsi di belakang ada speaker, saya kira memilih tempat di belakang masih cukup proporsional. Tetapi ada kekurangannya: wajah pendeta (kalo di gereja Protestan) atau pastor (kalau di Katolik) akan terlihat lebih kecil. Jadi buat yang lebih menghayati Firman Tuhan yang disampaikan dengan mendengar sambil menatap wajah pendeta/pastor, duduk di belakang itu sepertinya tidak menguntungkan.

Tetapi saya tidak akan membahas duduk di depan atau di belakang. Terlalu banyak motif Anda duduk di belakang atau di depan.

Saya ingin membahas satu bagian khusus yaitu: setiap baris kursi. Akan duduk di manakah Anda ketika menemukan sebuah baris kursi terlihat belum diisi orang? Catatan, kursi tersebut bisa diisi dari sebelah kanan dan sebelah kiri, alias tidak mepet ke tembok.

Saya yakin 99% Anda akan memilih di UJUNG baris, bisa ujung kiri atau ujung kanan. Alasannya? Jelas, supaya ketika kebaktian/misa selesai, Anda dengan mudah keluar tanpa terhalang orang lain.

Dulu seorang dosen matematika di ITB (seorang ibu, Ibu Dumaria Hutabarat) pernah mengatur pengisian kursi kosong waktu acara penyambutan mahasiswa baru (waktu itu masih di Gedung Serba Guna) tahun 1997. Beliau selalu berteriak: "Isi dulu yang TENGAH !!!!"


Ini menarik buat saya, dan sepertinya banyak mahasiswa ITB, bahkan sampai lulus pun, gak tau filosofi "mengisi tengah duluan". Terbukti, di berbagai event setelah acara tersebut, mahasiswa-mahasiswa ITB masih sering mengisi "ujung / pinggir duluan", sementara bagian tengahnya kosong. 

Dengan mengisi bagian tengah, dijamin Anda tidak akan jarang terganggu orang lain yang akan mengambil tempat duduk di tengah, kecuali dalam keadaan khusus. Anda memang akan terhalang ketika keluar dari baris setelah kebaktian/misa selesai. Tetapi mana yang lebih bermasalah bagi Anda? Ritual Anda terganggu orang lewat, atau proses Anda pulang dari gereja terganggu orang di sebelah Anda?


Tuesday, January 6, 2015

Tiket Mahal Meningkatkan Keselamatan Penerbangan, Apa Iya?

Membaca artikel di media massa tentang Menteri Perhubungan Ignatius Jonan yang akan mengeluarkan peraturan tarif batas bawah penerbangan, dengan argumen bahwa hal tersebut dapat meningkatkan keselamatan penerbangan, menurut saya, sedikit banyak itu betul, terutama untuk beberapa tindakan keselamatan berikut ini:

1. Pembatalan / delay penerbangan karena hambatan alam
2. Melakukan perawatan suku cadang pesawat sesering mungkin.

Saya coba menggunakan informasi dari sini untuk membuat simulasi pembiayaan maskapai penerbangan.

Pesawat biasanya masuk ke maintenance center yang namanya Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO). Artikel tersebuut menyebutkan bahwa perawatan overhaul pesawat Boeing 737 bisa mencapai $2,000,000. Kalau kita pakai kurs USD1 = Rp. 12.500,- maka biaya sekali overhaul adalah Rp. 25,000,000,000. Itu overhaul. Kalau maintenance biasa adalah $500.000 atau Rp. 6,250,000,000. 

Jadi misalnya nih, tarif penerbangan murah untuk rute Jakarta - Yogyakarta yang menggunakan pesawat dengan kapasitas Boeing 737 dengan kapasitas 200 penumpang, dipatok tarifnya Rp. 400.000. Ini berarti, untuk menutup biaya maintenance biasa, pesawat tersebut harus mengangkut 15625 penumpang, alias pesawat harus terbang 79 kali (pembulatan ke atas). Asumsi, pesawat terbang seminggu 14 kali (Jakarta - Yogya dan Yogya - Jakarta). Berarti biaya maintenance biasa akan tertutup dalam waktu 5-6 minggu (pembulatan ke atas). Kasar-kasarnya, pesawat baru bisa maintenance dalam waktu paling cepat 5-6 minggu.

Bagaimana dengan overhaul? Dengan cara berhitung yang sama, maka biaya overhaul akan tertutup dalam waktu kira2 22 minggu (hampir 5.5 bulan)

Bagaimana dengan tarif Rp. 1.000.000 ? Dengan asumsi jumlah penumpang dan frekuensi penerbangan yang sama, biaya maintenance akan tertutup dalam waktu sekitar 2-3 minggu dan overhaul dalam 8-9 minggu.

Sekali lagi, simulasi di atas dilakukan dengan asumsi pesawat full capacity (200 penumpang) dan terbang rutin 2 kali sehari. Lalu, saya belum menghitung berapa biaya lainnya termasuk avturnya :)

Jika pesawat hanya didedikasikan untuk satu rute penerbangan, for the sake of service quality, maka dengan tarif murah seperti di atas, dan kapasitas penumpang yang belum tentu penuh, maka akan berat bagi maskapai untuk membiayai perawatan pesawat.

Saya melihat satu cara yang "sangat gila" dengan benar-benar mengesampingkan masalah service kepada penumpang, yaitu ketepatan waktu, dilakukan oleh Singa Udara (saya samarkan saja namanya). Satu pesawat mereka bisa melayani berbagai rute kombinasi "basah" dan "kering" dalam satu hari. Saya perkirakan minimal satu pesawat mereka bisa melayani minimal 3-4 rute sehari dan dilakukan tiap hari. Dengan biaya murah, tentu saja. Dengan jumlah pesawat mencapai 500-an, saya kira sulit untuk maskapai lain bersaing dengan maskapai ini di level harga murah di negeri ini. Tapi dugaan saya, metode ini efektif untuk menutup biaya maintenance. Tetapi ya itu tadi, ketepatan waktu dikorbankan. Tetapi ini mungkin cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki pepatah sakti "Biar lambat asal selamat".... 

Simulasi ini hanya saya buat untuk jenis keselamatan penerbangan yang berkaitan dengan maintenance pesawat. Tidak untuk jenis keselamatan penerbangan yang lain, seperti misalnya keamanan dari tindakan penembakan (seperti yang pernah dialami oleh Malaysia Airlines tahun 2014 dan juga Korean Air di tahun 1980-an). 

Perhitungan tarif yang dikaitkan dengan lamanya biaya maintenance tertutup sebenarnya sangat penting. Maskapai tidak perlu melakukan "pemaksaan terbang" alias "kejar setoran" apabila cuaca tidak memungkinkan untuk terbang. Berbagai cerita yang saya dengar tentang pilot Indonesia adalah: mereka sangat berani terbang bahkan dalam cuaca yang buruk. Salut, tetapi sebaiknya maskapai tidak "memanfaatkan" keberanian mereka dengan pertaruhan nyawa seluruh penumpang. Lebih baik delay / cancel daripada tidak sampai.

Semoga ke depan penerbangan Indonesia mencapai zero-accident tiap tahun.

Antara Janda Kembang, Pemuka Agama, Preman, dan Tamu Lelakinya

Ketika kita menerima secuil informasi tentang sebuah peristiwa, entah dari media massa, atau dari saksi matanya langsung, ada "sesuatu" dari dalam diri kita untuk menilai bahwa informasi yang kita dapatkan itu adalah informasi yang valid atau tidak. Secara umum, tingkat kepercayaan kita terhadap validitas sebuah informasi tergantung apakah parameter yang kita gunakan.

Saya ambilkan contoh. Sebuah peristiwa disampaikan oleh seorang pemuka agama, yaitu ada seorang tamu lelaki yang bertamu sampai larut malam di rumah seorang janda kembang. Peristiwa yang sama disampaikan oleh orang lain yang merupakan preman sekitar, yaitu: Si janda kembang kedatangan adik lelakinya yang datang dari jauh dan bertamu sampai pukul 23.00. Sang pemuka agama dan sang preman adalah sama-sama saksi mata peristiwa tersebut. Informasi mana pertama kali mendapatkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi di otak Anda (tanpa berpikir panjang)? Saya tebak: jika Anda orang yang menghormati sang pemuka agama lebih daripada sang preman, Anda akan mempercayai informasi dari sang pemuka agama. Informasi dari sang preman paling tidak Anda analisa dulu.

Lalu apa tindakan Anda? Jika Anda adalah jenis orang yang saya tebak tadi, Anda kemungkinan akan berpikir bahwa kedua tamu lelaki tersebut harus diusir, karena bisa menjadi aib untuk RT/RW Anda. 

"Level of believe" atas sebuah informasi ditambah dengan persepsi atas informasi yang Anda berikan level kepercayaan tersebut, ditambah pula dengan pengetahuan yang Anda punya, atau dengan kata lain, premis yang Anda pegang sebagai premis yang valid, dan pilihan tindakan yang Anda punya akan menentukan tindakan yang akan Anda ambil.

Dalam contoh janda kembang ini, Anda akan menempatkan informasi dari pemuka agama sebagai informasi yang lebih tinggi nilai kebenarannya (lebih bisa dipercaya) dibandingkan dengan informasi yang disampaikan oleh preman. Mungkin karena figur seorang pemuka agama yang dianggap pasti memberikan informasi yang akurat, takut api neraka sehingga tidak mudah berbohong membuat informasi yang diberikannya lebih layak dipercaya daripada sang preman.

Kemudian berikutnya, Anda memiliki satu set pengetahuan yang Anda anggap valid sebagai berikut:

1. Jika seorang janda kembang kedatangan tamu lelaki sampai tengah malam, maka mereka akan melakukan sesuatu yang sifatnya asusila (perzinahan).
2. Jika seorang janda kembang kedatangan saudara lelaki sampai tengah malam, maka mereka tidak akan melakukan tindakan asusila.
3. "Tengah malam" didefinisikan sebagai pukul 21.30 ke atas.

Kemudian Anda punya pilihan langkah yang harus Anda ambil: membiarkan, atau mengusir tamu-tamu sang janda kembang.

Akhirnya Anda mengambil keputusan untuk melakukan pengusiran terhadap para tamu sang janda kembang.

Apakah di sini Anda melakukan kesalahan? Ingat, saya tidak menyebutkan mana informasi yang benar. Di sini saya tidak membahas apakah keputusan Anda salah atau benar. Menurut Russel dan Norvig, tindakan Anda itu adalah tindakan yang rasional. Rasional menurut pengetahuan yang Anda miliki, dan cara Anda mempercayai sebuah informasi, dan pilihan aksi yang Anda lakukan.

Jadi, jika Anda melihat ada tindakan seseorang yang menurut Anda tidak benar, aneh, mungkin juga bejat menurut Anda, pahamilah bahwa itu adalah tindakan paling rasional yang bisa orang tersebut lakukan.

Friday, January 2, 2015

Tentang Pengambilan Kesimpulan

Jika Anda diberikan sebuah premis (saya sebut "premis pertama") seperti ini:
"Jika matahari berada di sebelah Timur, maka langit di Timur relatif lebih terang daripada di Barat."
Kemudian, Anda mengobservasi bahwa matahari saat ini berada di sebelah Timur. Apakah kesimpulannya? Kaidah logika yang namanya Modus Ponens membawa Anda kepada kesimpulan bahwa langit di Timur relatif lebih terang daripada di Barat.. Of course, tidak usah menghafal kaidah logika juga gua tau kok! Baiklah, common sense Anda berkata demikian.

Sekarang jika diberikan sebuah premis (saya sebut "premis kedua") seperti ini:
"Jika harga minyak dunia turun, maka harga sembako turun."
Kemudian Anda mengobservasi bahwa harga minyak dunia turun. Kesimpulan Anda adalah: harga sembako turunLho tapi kok harga sembako tidak turun-turun? Lalu Anda melakukan demonstrasi, menyalahkan Pemerintah, membuat status-status di media sosial dan sebagainya. Anda menggunakan waktu dan tenaga Anda untuk memprotes Pemerintah.

Di sini kita melihat bahwa pada premis pertama, ada satu keniscayaan yang jelas teramati. Matahari berada di sebelah timur jelas saja membuat langit di Timur menjadi lebih terang daripada di Barat. Itu kejadian serta-merta, dan natural.

Premis kedua, jika kita pikirkan baik-baik, terlihat bahwa antara antecedent (harga minyak dunia turun) dengan consequence (harga sembako turun) pertama-tama bukanlah kejadian sebab-akibat secara langsung. Masih ada beberapa kejadian di antara dua kejadian tersebut yang mestinya ada, sehingga hubungan antara antecendent dengan consequence-nya menjadi rangkaian kejadian sebab-akibat.

Bandingkan dengan premis ini (saya sebut "premis ketiga"):
"Jika harga minyak dunia turun, maka pendapatan per barrel yang diterima eksportir minyak menurun."
Hubungan sebab-akibat pada premis ketiga jauh lebih kuat daripada premis kedua. Kenapa? Karena pengertian "harga minyak" itu sebenarnya adalah "harga jual minyak". Pengertian "pendapatan" sebenarnya adalah uang yang diterima karena menjual sesuatu.

Lalu apa yang ingin saya sampaikan dari penjabaran di atas?

Saya ingin memperlihatkan bahwa ketika kita mulai mengambil kesimpulan, ada satu hal yang kita harus perhatikan: apakah premis yang kita punya itu mempunyai bukti yang kuat? Atau setidaknya, mempunyai dasar analisis yang logis? Yang lebih penting lagi: apakah legitimasi premis tersebut diterima banyak kalangan? Semakin kuat bukti dari premis yang kita punya, maka premis tersebut semakin punya legitimasi yang kuat untuk membawa kita menuju kesimpulan, yang tentu saja tingkat kebenarannya semakin tinggi. 

Banyak debat kusir di media sosial menjadi berkepanjangan, karena premis-premis yang dibawa masing-masing pihak tidak mempunyai dasar analisis dan bukti fisik yang kuat, dan yang terutama, premis-premis tersebut tidak mendapat penerimaan dari banyak orang. Contohnya, debat kusir antar agama, atau antar sekte dalam sebuah agama. Premis-premis yang dibawa adalah premis-premis yang sifatnya "keyakinan", yang tidak mendapat penerimaan dari kalangan yang menentangnya. Ya jelas, agama merupakan rangkaian konsepsi yang diyakini, dipercayai. Pembuktian atas fenomena agama pertama-tama didasarkan pada perasaan. Namun demikian, usaha-usaha untuk melakukan pembuktian secara ilmiah juga gencar dilakukan, untuk memperkuat legitimasi ajaran agama.

Namun ketika diumumkan adanya penemuan adanya fenomena alam tertentu, misalnya temuan-temuan arkeologi, kesimpulannya kemudian ditafsirkan sebagai bukti atas penggalan ayat/konsepsi dalam agama. Tetapi karena nature sebuah agama adalah keyakinan, maka lagi-lagi tafsiran yang dihasilkan adalah premis baru yang validitasnya highly debatable untuk banyak kalangan yang tidak meyakininya dan highly acceptable untuk banyak kalangan yang meyakininya. Akhirnya apa? Ya debat lagi.... :)

Media Massa dan Kegemaran Berpikir Bangsa Indonesia


Saya menemukan gambar menarik di Facebook seperti ini. Settingannya adalah kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura.



Menarik, karena di sini kita bisa bertanya: mengapa perbedaan kualitas pertanyaan bisa terjadi seperti ini? Saya menduga ini disebabkan oleh perbedaan cara berpikir (kalau tidak mau dikatakan level pendidikan) antara audience CNN dengan audience kebanyakan televisi nasional Indonesia.

Terkait dengan level pendidikan audience, pertanyaan selanjutnya adalah apakah televisi nasional Indonesia, atau lebih umum lagi, media massa Indonesia, seharusnya melakukan pendidikan publik, atau mengikuti level pendidikan publik dalam menyajikan berita? Dari sisi potensi media massa untuk mempengaruhi opini publik, fungsi pendidikan ini masuk akal dibebankan kepada mereka. Tapi di sisi lain, media massa mempunyai aspek bisnis, di mana hukumnya adalah: semakin mengikuti selera pasar, keuntungan sebesar-besarnya semakin dapat diraih.

Ada satu fakta tambahan: media massa Indonesia cenderung menyajikan informasi-informasi yang tidak mendidik, mewawancarai orang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak intelek. Kenapa begitu dan kenapa informasi-informasi tersebut lebih disukai audience-nya? Logika bisnis di atas memberikan satu kesimpulan, yaitu bahwa publik Indonesia mungkin tidak mau dididik, dan lebih menyukai informasi-informasi yang tidak mendidik.

Berangkat dari kata "mendidik", saya mengkaitkannya dengan "berpikir". Pendidikan jelas mempunyai kaitan jelas dengan proses berpikir. Tidak ada pendidikan tanpa melalui proses berpikir. Artinya apa? Dari kalimat yang terakhir saya bold, saya mempunyai kesimpulan bahwa publik Indonesia mungkin tidak mau berpikir, tidak menyukai proses berpikir, atau menganggap remeh proses berpikir.

Lalu bagaimana dengan alasan klasik bahwa: orang Indonesia sudah capek bekerja, butuh refreshing, sehingga membutuhkan sajian acara-acara TV yang "santai", "tidak serius"? Ini hanya alasan. Proses pendidikan bisa kok dilakukan dengan cara santai. Lihat acara Upin-Ipin! Berkali-kali saya perhatikan, acara ini sarat muatan pendidikan, disajikan dengan santai, gaya anak-anak, tapi layak ditonton orang dewasa sekalipun.

Jangan-jangan, kegemaran berpikir adalah sesuatu yang hilang dari bangsa Indonesia. Gawat!

Engineering "Anggaran Sisa"


Dua minggu sebelum tahun 2014 selesai, jalan-jalan di sekitar rumah ibu saya di Yogya tiba-tiba diaspal. Dari hasil akhir yang bisa dilihat, saya menduga bahwa pengaspalan ini benar-benar dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Bagaimana tidak, proses pengaspalan yang dilakukan hanyalah sekedar melapisi lapisan aspal lama yang tadinya berlubang di beberapa bagian. Dan yang lebih penting lagi, melihat waktu pelaksanaan yang dilakukan di bulan Desember, sudah jelaslah bagi saya bahwa ini hanyalah proyek buang-buang anggaran sisa. Taruhan, dalam dua bulan, lapisan aspal baru ini akan berlubang lagi. Kebetulan pula ini musim hujan. Bisa jadi dalam satu bulan, ada yang "tidak beres".

Itulah sekelumit gambaran tentang pekerjaan engineering di NKRI kita tercinta ini. Pekerjaan engineering dianggap dapat dilakukan tanpa perhitungan yang matang, dan hanya digunakan untuk menghabiskan anggaran, demi tercapainya kata "penyerapan yang berhasil" sehingga tahun depan instansi pemerintah yang berkepentingan mendapatkan dana APBD / APBN lagi. 

Bobby Fischer, lebih dari sekedar strategi catur

Waktu SD, saya punya hobby main catur. Sebenarnya sampai sekarang pun saya masih bisa main catur, meskipun intensitasnya tidak sesering dulu. Mungkin karena dulu saya menempuh SD di Medan. Saya ingat waktu itu buku-buku catur banyak dijual di toko-toko buku besar seperti Gramedia. Sempat pula saya beli buku catur "Aaron Nimzovich" (2 seri), juara dunia catur tahun 1927 kalau tidak salah. Permainannya menurut saya agak menjemukan, karena seringkali karakter Nimzovich ini tidak suka main open play.

Berbagai buku catur seperti Karpov dan Kasparov juga pernah saya beli. Tapi pada akhirnya saya "jatuh cinita" pada gaya permainan Robert James "Bobby" Fischer. Alasan awalnya simple: banyak partai-partainya yang berakhir cepat (di bawah 20 langkah). Apakah lawannya memang kacangan, itu awalnya pertanyaan saya. Saya pikir tidak juga. Beberapa partai cepatnya dilakukan di ajang kejuaraan nasional Amerika Serikat dan internasional.

Kenapa Fischer bisa memainkan permainan yang berakhir cepat?

Lama sekali saya merenungkan ini, akhirnya saya punya satu jawaban: Fischer tidak peduli "sehancur" apa formasinya, asalkan serangannya fokus kepada checkmating raja lawan. Ini menarik, dan tentu saja, ini sangat engineering. Bagaimanapun, tujuan akhir sebuah permainan catur adalah mencapai checkmate. Dan Fischer secara jelas mengimplementasikannya.

Ini berbeda dengan gaya Karpov, yang merupakan defender handal, atau Kasparov yang penuh kejutan dan unpredictable. Fischer memberikan pelajaran akan pengambilan keputusan yang strategis demi tercapainya sebuah tujuan. Saya tidak tahu apakah gaya Fischer ini sempat menjadi perbincangan di diskusi-diskusi perencanaan strategis di dunia bisnis atau tidak. Namun saya melihat strategi Fischer lebih dari sekedar strategi catur.

Fischer "mengajarkan" kepada kita pentingnya fokus pada pencapaian tujuan tanpa sedikitpun khawatir akan point-point lemah dalam pertahanan. "Mari kita balapan menyerang", kira-kira itulah pesan yang ingin disampaikan. Balapan menyerang, itulah gaya Fischer. Tidak kuatir musuh akan menyerang. Menyerang dan diserang adalah sebuah keniscayaan dalam perang. Yang penting, apakah serangan kita bisa "membunuh" lawan lebih cepat?

Thursday, January 1, 2015

Everything goes digital, tapi logika kita belum benar?

Ada satu hal yang menggelitik saya. Ini tentang lifestyle masyarakat dunia, saya khususkan pada yang tinggal di Indonesia. Kita semua telah masuk ke dalam gaya hidup digital. Segala kegiatan kita hampir selalu menyentuh peralatan-peralatan digital. 

Contoh paling mudah, dan ini sudah lama sekali kita gunakan, kalkulator. Kalkulator membantu kita menyelesaikan perhitungan-perhitungan matematika dengan cepat, tanpa kita perlu mengambil pensil dan kertas dan melakukan perhitungan manual. 

Contoh paling gres saat ini apalagi kalau bukan gadget. Sekarang semua kebutuhan kita dapat dipenuhi hanya dengan sebuah gadget yang bisa dimasukkan saku baju atau celana.

Tapi anehnya, seiring dengan semakin banyaknya penggunaan perangkat digital dalam hidup manusia Indonesia sehari-hari, saya memperhatikan bahwa logika kita masih terbalik-balik. Masih belum mantap. Padahal perangkat digital yang kita gunakan sehari-hari itu dibangun atas dasar prinsip-prinsip logika. Coba lihat di kalkulator Anda: 2+2 selalu sama dengan 4, tidak pernah 5 atau 3.

Beberapa contoh terbalik-baliknya logika masyarakat kita:

1. Sudah tahu kalau membuang sampah sembarangan di sungai itu bisa membuat sungai mampet dan ujung-ujungnya memicu banjir, eh malah buang sampah di sungai. Lalu gilirannya banjir, yang disalahkan pemerintah.

2. Mobil diserempet motor dari belakang, padahal si mobil berjalan dengan kecepatan normal. Lalu si pengendara motor marah-marah. Ujung-ujungnya mobilnya yang salah. Alasannya? Si mobil melakukan pengereman mendadak. Iya sih, dari frame si pengendara motor, mungkin dia merasa bahwa si mobil melakukan pengereman mendadak. Padahal dari frame orang lain yang sedang diam, motor tersebut yang mengerem mendadak (mungkin karena ngelamun, liat cewek sexy di pinggir jalan?)

3. Kasus pendidikan: guru memberi nilai jelek kepada murid karena memang si murid tidak dapat mengerjakan soal-soal ulangan. Bukannya si murid yang dimarahi orangtuanya, yang terjadi adalah orangtuanya datang kepada guru sambil marah-marah, "Kenapa nilai anak saya kamu kasih jelek???" Kemalasan murid diterjemahkan orangtua sebagai ketidakmampuan guru untuk mengajar.

Itu sebagian cara berpikir "logis" yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Kasihan ya, benda-benda mati yang digitalized itu malah lebih logis daripada penggunanya..... :(