Sunday, January 25, 2015

Jokowi, KPK, Polri, dan Truf

Gonjang-ganjing di level kepemimpinan NKRI yang saya amati sejak jaman Reformasi 1998, membawa saya ke satu pendekatan analisis: "Truf Analysis". Truf, sebuah permainan kartu yang sangat saya gemari di masa kuliah dulu, adalah permainan yang dimainkan oleh 4 orang, di mana masing-masing mempunyai target bidding yang jika terpenuhi, maka akan memberikan nilai positif, jika tidak, maka nilainya negatif.

Saya tidak berpanjang lebar menjelaskan permainan truf. Inti permainan ini adalah: ketika kita punya sekelompok kartu (heart/spades/dll) yang menjadi kelompok kartu truf dan kita memiliki urutan kartu-kartu truf kuat (As, K, Q, J, atau kombinasi-kombinasinya), maka kita memiliki peluang untuk mencapai tujuan mencapai nilai plus yang tinggi (goal bidding), tergantung kemampuan kita memanajemen pengeluaran kartu-kartu truf tersebut. Karena bisa saja meskipun kita punya kartu truf, tetapi kita tergelincir karena kelihaian pihak lawan untuk "mencuri kartu truf kita dengan keluaran kartu truf yang mereka punya". Kemampuan kawan-kawan kuliah saya dulu di Himpunan Mahasiswa Elektro ITB benar-benar membuka mata saya bahwa pemegang truf kuat belum tentu menang.... :)

Ini pendekatan yang paling pas saya kira untuk menggambarkan beberapa kejadian di pemerintahan, seperti:
1. Kenapa Budi Gunawan tiba-tiba menjadi tersangka pada saat diajukan sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi.
2. Kenapa Kabareskrim Polri tiba-tiba mencokok Bambang Widjojanto (BW) dengan tuduhan kasus lama.
3. Kenapa Presiden Jokowi tidak memiliki sikap tegas dalam pernyataannya setelah peristiwa penangkapan BW.

Tiga itu dulu. Sebenarnya banyak kejadian masa lalu yang menjadi tanda tanya publik, karena tidak masuk di logika.


Sebenarnya tulisan ini agak basi. Semua orang mungkin sudah bisa mengira-ngira permainan apa yang terjadi. Saya hanya ingin membuat suatu formalisasi teori atas perkiraan-perkiraan banyak orang.

Pendekatan teori saya ini saya simplifikasi ke dalam satu kalimat, yaitu:
Setiap institusi negara mempunyai catatan kesalahan institusi lain yang dapat menjadi "kartu truf" apabila suatu saat institusi tersebut sedang terancam.
Paling gampang memang antara KPK dan Polri. Banyak pertanyaan publik tentang KPK di masa lalu seperti ini:
Katanya si A tersangka korupsi, kok tidak segera ditangkap ?
Atau seperti ini:
Kasus korupsi H ini sudah banyak saksi-saksinya, tetapi kenapa belum ada satupun tersangka?
Dan banyak pertanyaan lainnya.

Readers, saya mempunyai pendekatan teori yang saya yakini mengenai hubungan antar-institusi atau hubungan antar-pribadi yang terlibat dalam penyelenggaraan negara (eksekutif, yudikatif, legislatif) di mana masing-masing institusi mempunyai sistem "pertahanan" terhadap "serangan-serangan" dari luar institusi, yaitu dengan cara menyimpan data-data yang mereka miliki tentang institusi lain. Data-data tersebut dapat merupakan data mengenai "borok" seseorang di institusi lain yang mereka anggap "agresif". Pengertian "borok" di sini relatif. Sesuatu yang sebenarnya bukan borok, bisa saja dimodifikasi sebagai borok. Tergantung kelihaian pakar hukum yang dibayar :)

Borok tersebut bisa saja berupa transaksi bisnis, pertemuan-pertemuan (yang mana sebenarnya hanya ketemu di kerja bakti kelurahan, tetapi bisa menjadi "senjata" bagi lawan politik), sampai pada kisah-kisah "teman tapi mesra" di dalam atau di luar pekerjaan, atau jika ada yang sempat mengetahui masa kecil seorang tokoh yang ternyata suka baca stensilan bokep, itu juga bisa jadi senjata. Selama ada sesuatu yang kelak berguna sebagai senjata, maka simpanlah data itu. Jangan dibuka sekarang. Nanti saja truf-nya dibuka jika diperlukan. Begitulah kira-kira prinsip dasar "pertahanan" sebuah institusi lembaga penyelenggara negara kita.

Saya yakin, lembaga-lembaga seperti KPK dan Polri pun melakukan hal yang sama, dengan cara profesionalnya masing-masing. Profesional? Ya, memang sebagai lembaga negara, dalam melakukan "serangan" ke institusi lain, cara-cara mereka haruslah profesional. Bukan model-model edit gambar ketua KPK dan seorang peserta kontes kecantikan. Bukan. Bukan itu. Ini secara profesional. KPK melakukan penyadapan. Itu profesional, sesuai undang-undang. Polisi melakukan penyelidikan tindak kriminal. Itu juga profesional.

Yang menarik adalah, ketika mereka seharusnya melakukan action, mereka malah menunda-nunda. Publik bertanya, apa yang mereka tunggu sebenarnya? Jawaban saya: mereka menunggu diserang. 

Adakah yang masih ingat jaman dahulu, kapan Tommy Soeharto ditangkap polisi setelah buron gara-gara sebuah kasus? Sehari sebelum kapolri baru diganti! Suatu kebetulan yang luar biasa tentunya. Saya tidak bisa memberi kepastian tentang kenapa event tersebut begitu pas. Saya hanya mencurigai kapolri yang lama waktu itu sengaja mengulur waktu sampai dia diganti. Dia tidak mau terkena imbas penangkapan seorang anak mantan presiden terkemuka di negara ini. Itu teori saya.

Nah, pola yang sama juga digunakan oleh lembaga-lembaga penyelenggara negara lainnya, termasuk Presiden. Apa yang sebenarnya terjadi ketika Presiden Jokowi mengajukan seorang yang jelas-jelas masuk dalam daftar penyelidikan KPK terkait rekening gendut? Seorang yang dari dulu dikenal bersih tiba-tiba melakukan sebuah hal konyol? Jelas ada kekuatan besar yang akan menyerang balik dirinya melalui data-data yang sudah lama dikumpulkan mengenai Jokowi sebelum menjadi presiden.

Saya bandingkan dengan Basuki Tjahaja Purnama (BTP alias Ahok), sang gubernur DKI. Kenapa dia begitu berani mengambil keputusan, bahkan sampai melawan partai induknya sendiri (Gerindra) dan melawan DPRD? Terlepas dari prinsip pribadinya yang anti-korupsi dan memang berani berantem, saya melihatnya sebagai seorang yang data-data keborokannya minim (semoga!) dan sulit digunakan oleh lawan-lawan politiknya untuk menyerang balik.

Ada apa dengan Jokowi? Apakah ada data-data borok pribadi yang siap diluncurkan ketika dia melawan sebuah kekuatan yang lebih masif, katakanlah PDIP dan Megawati-nya? Bisa jadi. Baik borok beneran maupun borok yang dimodifikasi. Intinya, bisa jadi Jokowi melihat ada potensi serangan balik yang akan diterimanya ketika dia melakukan sesuatu yang pro-rakyat dan kontra-oligarkhis partai.

Saya tidak tahu apa yang dibicarakan Presiden Jokowi dengan Wakapolri dan ketua KPK pasca penangkapan BW. Yang jelas, statement-nya yang sangat normatif menandakan sebuah tekanan besar, tekanan yang menurut teori saya, berasal dari "database" yang dimiliki kekuatan-kekuatan masif (partai misalnya ?) mengenai borok-borok (sekali lagi, pure borok, atau borok modifikasi) Jokowi sewaktu Pilpres, atau bahkan Pilkada DKI, atau bahkan Pemilihan walikota Solo?

Ini dulu analisa yang bisa saya kupas. Permainan masih berlanjut, dan pemberantasan korupsi tidak semudah itu ternyata...

No comments:

Post a Comment