Sunday, January 18, 2015

Kompleksitas Transportasi Massal di Indonesia

Transportasi massal adalah sebuah solusi untuk mengatasi kemacetan akibat banyaknya kendaraan di sebuah kota. Sebuah kota yang besar, apalagi sampai selevel metropolitan / megapolitan sudah jelas harus menerapkan transportasi massal.

Dari pengalaman saya melihat transportasi massal di Seoul, Busan (Korea Selatan), dan Singapura, saya melihat bahwa nilai jual sebuah sistem transportasi massal yang ideal adalah:

Lebih murah, lebih cepat, lebih nyaman

Lebih murah, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, Anda harus mengeluarkan biaya lebih sedikit ketika menggunakan transportasi massal dibandingkan dengan ketika menggunakan kendaraan pribadi. Biaya kendaraan pribadi tersebut pertama-tama adalah bahan bakar (BBM), dan biaya-biaya lainnya termasuk biaya service kendaraan yang harus disisihkan untuk setiap kilometer yang ditempuh (ini mungkin susah menghitungnya, dan memang kebanyakan orang tidak menghitung komponen biaya ini).

Lebih cepat, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, Anda menempuhnya lebih cepat daripada ketika menggunakan transportasi massal. Ini sangat terasa ketika A dan B adalah titik yang sangat jauh. Tangerang ke Bekasi misalnya (ini beneran, saya tidak sedang menghina Bekasi).

Lebih nyaman, berarti ketika Anda menempuh perjalanan dari titik A ke titik B, perjalanan Anda adalah perjalanan yang lebih nyaman daripada ketika Anda menggunakan kendaraan pribadi. Ini mungkin menjadi faktor yang kurang diprioritaskan. Tetapi kalau diadakan survey kepada pengendara mobil, kenyamanan adalah satu faktor pertimbangan mereka menggunakan mobil.

Menurut saya, pengadaan transportasi massal di megapolitan seperti Jakarta tidak dapat langsung mengejar ketiga persyaratan tersebut. Tetapi paling tidak faktor harga murah bisa lebih diprioritaskan lebih dahulu. 

Satu kekaguman saya pada sistem transportasi massal di Korea Selatan adalah integrasinya dengan Sistem Informasi. Bagaimana bisa? Sistem informasi di Korea Selatan memungkinkan seorang penumpang membayar 50% lebih murah ketika mereka melakukan perjalanan sambung-menyambung dari trayek satu ke trayek lain. Jadi misalnya Anda melakukan perjalanan dari A --> B --> C --> D dengan biaya masing-masing rute adalah 1000 won (jadi total biaya tanpa discount 3000 Won), Anda hanya perlu membayar 1000 Won (A-->B) + 200 Won (B-->C) + 200 Won (C--D) = 1400 Won. Setengah harga! Mereka harus berterima kasih kepada sistem informasi mereka yang handal.

Yang menjadi masalah berat di Jakarta adalah moda transportasi massalnya hanya Bus dan Commuter yang jumlahnya terbatas tanpa dukungan sistem informasi yang integrated, yang tidak memungkinkan pemotongan harga ketika orang ingin berpindah dari commuter ke bus atau sebaliknya. Ini yang menyebabkan biaya transportasi massal masih lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kalau saya bisa menempuh jarak 10 km dengan menghabiskan bensin 1/2 liter, alias Rp. 3800,- (patokan harga premium Rp. 7600), buat apa saya bayar moda transportasi yang tarifnya lebih mahal?

Gara-gara contoh barusan, saya melihat ada masalah bagi terselenggaranya transportasi massal: harga BBM. Kenapa di Korea Selatan transportasi massalnya efektif? Salah satunya juga karena harga BBM di sana bisa mencapai Rp. 20.000 per liter (di atas $1, tarif rata2 subway 1000 Won = $0.93). Jangan-jangan, selama harga BBM kita masih di bawah Rp. 15.000 per liter, transportasi massal belum menjadi pilihan mau sebanyak apapun bus yang disediakan, karena biaya penggunaan kendaraan pribadi lebih murah. Dulu pak Jokowi sewaktu masih menjadi Gubernur DKI pernah mengatakan bahwa patokan tarif monorail adalah $1 alias Rp. 12.000. Ini baru cocok ketika jarak yang ditempuh melebihi harga 1,6 liter bensin (tarif 1 l = Rp. 7600). Jadi misalnya sebuah kendaraan menghabiskan 1 liter bensin per 15 km, jarak ekonomis antar stasiun/halte ya... 24 km. Bandingkan dengan jarak antar stasiun subway di Busan: 1 - 3 km.

Masalah lain yang menurut saya menjadi syarat utama suksesnya penerapan transportasi massal sebenarnya adalah manusia-nya sendiri. Percuma pemerintah menerapkan transportasi massal kalau manusianya enggan berjalan kaki. Sangat sulit merancang sistem transportasi massal dengan halte yang letaknya sangat dekat. Biasanya Anda perlu berjalan kaki ke halte terdekat (sekitar 50 meteran) ketika ingin berganti jalur. Di Korea Selatan, manusia-manusianya mau berjalan kaki dari stasiun subway ke halte bis terdekat. Bahkan saya pernah berjalan kaki dari satu stasiun subway ke stasiun subway yang lain karena sebenarnya line mereka tidak berpotongan di daerah itu, tetapi di daerah lain yang sangat jauh. Karena saya harus menyingkat waktu, saya memilih untuk tidak menunggu sampai ke titik perpotongan kedua line. Saya berjalan kaki saja. Menghemat waktu.

Sekali lagi, ujung-ujungnya manusianya lagi :)

No comments:

Post a Comment