Thursday, January 1, 2015

Everything goes digital, tapi logika kita belum benar?

Ada satu hal yang menggelitik saya. Ini tentang lifestyle masyarakat dunia, saya khususkan pada yang tinggal di Indonesia. Kita semua telah masuk ke dalam gaya hidup digital. Segala kegiatan kita hampir selalu menyentuh peralatan-peralatan digital. 

Contoh paling mudah, dan ini sudah lama sekali kita gunakan, kalkulator. Kalkulator membantu kita menyelesaikan perhitungan-perhitungan matematika dengan cepat, tanpa kita perlu mengambil pensil dan kertas dan melakukan perhitungan manual. 

Contoh paling gres saat ini apalagi kalau bukan gadget. Sekarang semua kebutuhan kita dapat dipenuhi hanya dengan sebuah gadget yang bisa dimasukkan saku baju atau celana.

Tapi anehnya, seiring dengan semakin banyaknya penggunaan perangkat digital dalam hidup manusia Indonesia sehari-hari, saya memperhatikan bahwa logika kita masih terbalik-balik. Masih belum mantap. Padahal perangkat digital yang kita gunakan sehari-hari itu dibangun atas dasar prinsip-prinsip logika. Coba lihat di kalkulator Anda: 2+2 selalu sama dengan 4, tidak pernah 5 atau 3.

Beberapa contoh terbalik-baliknya logika masyarakat kita:

1. Sudah tahu kalau membuang sampah sembarangan di sungai itu bisa membuat sungai mampet dan ujung-ujungnya memicu banjir, eh malah buang sampah di sungai. Lalu gilirannya banjir, yang disalahkan pemerintah.

2. Mobil diserempet motor dari belakang, padahal si mobil berjalan dengan kecepatan normal. Lalu si pengendara motor marah-marah. Ujung-ujungnya mobilnya yang salah. Alasannya? Si mobil melakukan pengereman mendadak. Iya sih, dari frame si pengendara motor, mungkin dia merasa bahwa si mobil melakukan pengereman mendadak. Padahal dari frame orang lain yang sedang diam, motor tersebut yang mengerem mendadak (mungkin karena ngelamun, liat cewek sexy di pinggir jalan?)

3. Kasus pendidikan: guru memberi nilai jelek kepada murid karena memang si murid tidak dapat mengerjakan soal-soal ulangan. Bukannya si murid yang dimarahi orangtuanya, yang terjadi adalah orangtuanya datang kepada guru sambil marah-marah, "Kenapa nilai anak saya kamu kasih jelek???" Kemalasan murid diterjemahkan orangtua sebagai ketidakmampuan guru untuk mengajar.

Itu sebagian cara berpikir "logis" yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Kasihan ya, benda-benda mati yang digitalized itu malah lebih logis daripada penggunanya..... :(

No comments:

Post a Comment