Friday, March 27, 2015

Selamatkan Logika Mahasiswa dari Media!

Ada dua hal yang saya kuatirkan mengenai mahasiswa rata-rata yang saya temui di Indonesia (Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta) dalam hal tulis-menulis:

1. Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (SPOK) yang kacau balau.
2. Alur pemikiran yang tidak runut.

Masih banyak sebenarnya hal yang mengkhawatirkan, tetapi saya fokus pada dua hal di atas yang terpenting menurut saya.

Baiklah, bagian pertama, SPOK kacau balau. Saya ambilkan contoh:
Sistem yang diterapkan adalah penggunaan sensor panas pada sistem.
Mungkin bagi Anda yang sudah melanglang buana di dunia tulis-menulis, atau bahkan beberapa diantara Anda yang sering membaca, Anda akan tertawa karena kalimat ini sungguh menggelikan. Akan tetapi, ini realitanya. Bagi beberapa mahasiswa, kalimat ini tidak aneh.

Saya pernah melakukan tes  kecil-kecilan di kelas dengan menunjukkan kalimat di atas kepada mahasiswa saya. Hasilnya, bagi mereka, kalimat tersebut sudah mengandung subjek, predikat, dan objek. Padahal, kalimat di atas hanya terdiri atas subjek saja. Kemudian, bagian "pada sistem" di akhir kalimat juga sebaiknya dibuang. Pada intinya, kalimat di atas kekurangan predikat. "Kelucuan" berikutnya adalah "penggunaan sensor panas" dianggap sebagai "sistem".

Kebiasaan menulis dengan SPOK yang amburadul ini bahkan ada yang menggiring pada bagian kedua, yaitu alur pemikiran yang tidak runut. Kasus-kasus pada bagian ini tidak sebanyak pada bagian pertama. Namun, dari pengamatan saya yang parsial ini, jumlahnya cukup signifikan. Ketidak-runutan ini saya amati berakar dari mudah pecahnya pemikiran mahasiswa akan ide-ide yang muncul belakangan pada saat menulis. Pada awal penulisan, mereka begitu konsisten dengan ide awal. Akan tetapi, karena mereka tidak melakukan pembatasan masalah, ide-ide tersebut pecah tidak karuan sehingga terkesan tidak fokus. Yang lebih parah, ketidakfokusan ini berakibat tidak sinkronnya antara bagian akhir tulisan dengan bagian awalnya.

Saya memiliki hipotesis bahwa inilah buah dari seringnya mahasiswa mengakses media-media audio-visual seperti televisi. Beberapa sampel berita (terutama politik) sering menampilkan ketidak-konsistenan alur berpikir pada sebuah topik. Kebiasaan media menggiring opini dengan menampilkan data-data yang disajikan dengan pilihan kata-kata yang "menarik" dan "memancing emosi" saya duga menyebabkan pola pikir pemirsanya (terutama mahasiswa) tidak terbiasa melakukan check-and-recheck atas informasi yang mereka terima. Proses check-and-recheck yang seharusnya mereka lakukan ternyata harus dilakukan dengan membaca. Pada titik ini, saya menduga (lagi) bahwa mahasiswa tidak membaca dengan seksama informasi-informasi lain yang disajikan dalam bentuk tulisan. Hal ini disebabkan oleh pikiran mereka yang terpecah dan mengikuti gejolak darah mudanya yang emosional karena penyisipan kata-kata provokatif yang ditampilkan oleh media.

Yang saya jabarkan di atas adalah informasi audio-visual yang di-check-and-recheck dengan informasi-informasi berupa tulisan. Bagaimana dengan informasi yang berasal dari internet, yang kebanyakan masih berupa informasi tertulis? 

Dalam kaitannya dengan informasi tertulis yang berasal dari internet, saya menduga adanya kecenderungan mahasiswa untuk mencerna informasi-informasi yang sifatnya easy reading, alias mudah dibaca dan dimengerti, tetapi tanpa pendalaman. Informasi seperti ini biasanya disajikan oleh situs-situs berita yang hanya bertujuan mengejar traffic. Sebagai contoh, ada informasi yang disebarkan sebuah situs berita yang "menyajikan berita dengan super cepat" tentang keputusan pemerintah mengenai, misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Karena para mahasiswa mengetahui informasi dari sumber-sumber yang easy reading, mereka tidak mengecek lagi ke sumber utama keputusan pemerintah tersebut, yaitu Keppres no. xxx tahun yyyy yang membahas kenaikan harga BBM. Mengapa? Hal ini terjadi karena informasi dalam keppres tersebut disajikan dalam bahasa hukum / bahasa birokrasi, sehingga kebanyakan mahasiswa merasa kesulitan untuk mencerna setiap kalimat dalam keppres tersebut. Padahal, keppres itulah sumber yang paling bisa dipercaya untuk mendapatkan informasi. Media hanyalah lidah kesekian dalam penyampaian informasi tersebut.


Media-media audio-visual dan internet pada hakekatnya adalah media-media yang ditujukan untuk tujuan-tujuan bisnis dengan menggalakkan aktivitas-aktivitas seperti mengejar follower dan mencari sensasi. Ketiga hal ini berujung pada keuntungan material pemilik media. Karena kaitannya dengan bisnis, maka hal pertama yang dititikberatkan adalah kemudahan pada informasi yang diberikan: kemudahan akses, kemudahan dibaca dan dimengerti dalam waktu singkat, dan yang paling penting adalah kemudahan bagi informasi untuk memancing datangnya  follower , yang ujung-ujungnya, hanya akan berefek pada naiknya pemasukan dari sektor periklanan. Namun di sisi lain, media-media ini "mendidik" mahasiswa menjadi manusia-manusia yang berpikir pendek, mudah terprovokasi, dan kurang memiliki logika yang runut. Media tidak akan memberikan informasi yang terlalu dalam, karena mereka sendiripun juga dikejar-kejar deadline. Selain itu, informasi yang terlalu dalam, apalagi yang disajikan dengan bahasa yang rumit ala akademisi jelas tidak menguntungkan bagi bisnis.

Di sinilah mahasiswa harus disadarkan dan logika mahasiswa harus diselamatkan kalau mau bangsa ini memiliki cendekiawan-cendekiawan yang ..... (isi sendiri yang baik-baik saja, seperti misalnya: santun, pintar, dan lain-lain)