Thursday, February 26, 2015

Keputusan Sebaiknya Berbasis Gosip, Opini, Hipotesis, atau Verified Information?

Setelah menjabarkan cara berpikir saya dalam melihat informasi dalam tulisan ini (LINK), saya memiliki ide untuk melanjutkan tulisan tersebut ke dalam satu fenomena yang biasa kita temukan sehari-hari: pengambilan keputusan (decision making).

Contoh sederhana tentang pengambilan keputusan ini misalnya dalam kasus pengumuman harga bensin Premiun naik per pukul 00.00 nanti malam. Apa yang terjadi kemudian? Dari pengalaman kita melihat adanya antrian pembeli bensin Premium di berbagai SPBU malam hari sebelum kenaikan harga terjadi. Ini adalah pengambilan keputusan berdasarkan verified information. Informasinya sudah jelas, diumumkan oleh pihak yang informasinya dapat dipercaya (Pemerintah).

Bagaimana dengan kejadian, misalnya, harga minyak dunia naik? Logika umum masyarakat akan mengatakan bahwa "sebentar lagi harga bensin Premium juga naik". Bahkan mungkin ada yang lebih presisi prediksinya: "seminggu lagi harga bensin Premium naik". Akhirnya, terjadilah antrian yang lebih padat dari biasanya, meskipun mungkin tidak sebanyak ketika ada pengumuman Pemerintah. Ini adalah contoh pengambilan keputusan berbasis gosip atau opini. 

Lalu apakah pengambilan keputusan berbasis verified information itu lebih baik daripada berbasis gosip atau opini?

Saya pikir jika seorang pemain saham harus melaukan verifikasi informasi keuangan dunia, jangan-jangan dia malah mengambil keputusan yang tepat di saat yang salah, sehingga bukannya mendapat keuntungan, tetapi malah kerugian. Agak sulit membayangkan seorang pemain saham (atau valuta asing) mengambil keputusan berbasis verified information. Dalam pengalaman, mereka biasanya mengambil keputusan berdasarkan gosip. Perlu diakui, dan berdasarkan pengalaman, bahwa gosip berkembang lebih cepat daripada verified information.

Kita juga pernah mengalami masa-masa di mana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat lama sekali mengambil keputusan. Saya menduga bahwa beliau berusaha mengambil keputusan berdasarkan verified information, bukan berdasarkan gosip, opini, atau hipotesis. Presiden Jokowi mungkin juga mengalami hal yang sama, tetapi saya tidak bisa membayangkan jenis verified information apa yang ditunggu pak presiden dalam masalah perseteruan Polri dan KPK tempo hari.

Kalangan akademisi adalah kalangan yang mempunyai "tradisi" mengambil keputusan berdasarkan verified information. Masuk akal sebenarnya, karena mereka sebenarnya adalah "pemelihara ilmu pengetahuan", sehingga validitas sebuah teori dalam bidang ilmu mereka sebisa mungkin dijaga agar selalu konsisten.

Berbeda dengan kalangan pebisnis. Saya memperhatikan kalangan ini jarang menunggu verified information dalam mengambil keputusan, dan kadang-kadang melakukan gambling, ketika informasi yang didapat (misalnya tentang kompetitor) dirasa cukup akurat (meskipun sebenarnya masih dalam tataran hipotesis). Tetapi mengingat sempitnya waktu untuk mengambil keputusan, mereka tidak mungkin memverifikasi semua informasi yang mereka dapatkan. Bisa-bisa peluang mereka diserobot para kompetitor.

Yang menjadi masalah di sini adalah ketika sebuah profesi mengambil keputusan di luar pakemnya. Ini terutama untuk kalangan akademisi, terutama yang saya amati, dalam bidang sosial politik (sorry kalau sebut nama disiplin ilmu!). Seringkali beberapa dari mereka menjelma menjadi komentator kacangan dan berkomentar tidak seperti layaknya seorang akademisi: hanya berdasarkan opini dan gosip. Masih lebih baik jika mereka berkomentar berdasarkan sebuah hipotesis. Jarang dari komentator-komentator tersebut yang sabar menunggu informasi itu terverifikasi sebelum mereka berkomentar. Tiba-tiba mereka menjadi sok mengetahui segala hal dan membuat analisis yang tidak berdasarkan metode ilmiah. Apakah ini demi sebuah "pencarian akan honor komentator" sehingga mereka rela melepaskan prinsip dasar dalam berpikir dan mengambil keputusan? Ah, tidak tahu saya. Saya tidak mau bergosip.



No comments:

Post a Comment