Friday, February 20, 2015

Pendidikan untuk Berpikir Merdeka

Hari ini saya disibukkan dengan aktivitas memeriksa tugas mata kuliah Sistem Kendali Industri (S1). Ada 55 berkas yang harus saya periksa. Ketika sampai pada berkas ke-18, ada pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik saya: Apakah saya harus memberi nilai rendah untuk jawaban-jawaban yang tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan? Dan sebaliknya, apakah saya harus memberi nilai tinggi untuk jawaban-jawaban yang sesuai dengan apa yang saya pikirkan?

Pertanyaannya sendiri membutuhkan analisa mendalam yang saya pikir juga sulit dilakukan dalam waktu satu minggu. Mereka harus membaca banyak referensi untuk menjawab pertanyaan saya. Akhirnya, bisa ditebak. Jawaban yang saya terima tidak sesuai dengan harapan saya. Tetapi dengan demikian, apakah saya harus memberikan nilai rendah?

Saya akhirnya berusaha melihat dari sisi lain: bagaimana cara mereka berpikir sehingga sampai pada jawaban yang kurang benar ("kurang benar", karena memang sebenarnya tidak terlalu salah, tetapi kalau dibilang benar juga tidak bisa), atau cara mereka berpikir sehingga sampai pada jawaban yang hampir benar.

Akhirnya saya sampai pada satu hipotesa: para mahasiswa terjebak pada pola pikir yang tidak membebaskan. Mereka berpikir jawaban apa yang benar menurut saya/dosen. Mereka tidak berpikir jawaban apa yang benar menurut versi mereka. Ini pola pikir yang saya duga sudah ditanamkan di sistem pendidikan kita. Guru selalu benar, murid harus mengikuti kebenaran yang disampaikan guru. Tanpa sedikitpun gairan brainstorming di situ. Sedikit banyak, itu juga yang saya alami dahulu sebelum SMU. Waktu di SMU? Thanks God, SMU saya (SMU Kolese De Britto, Yogyakarta)-lah yang mengajarkan saya berpikir merdeka.

Jawaban-jawaban yang saya terima adalah jawaban-jawaban yang tidak merdeka, penuh ketakutan akan nilai jelek, takut keluar dari pakem. Padahal saya berharap mereka startdari common sense yang mereka punya, bukan dari common sense yang saya punya. Jelas, mereka tidak tahu apa yang saya pikirkan. Saya justru ingin tahu bagaimana kemerdekaan mereka berpikir membuat mereka menjawab dengan lebih bergairah, bersemangat, dan, ini mungkin agak sedikit lebay, membuat mereka mencintai subyek yang saya ajarkan.


Sehingga akhirnya bagaimana? Jawaban mereka hanya mencontek dari slide PPT saya, menyimpulkan sendiri tanpa berusaha "menyelam" ke dalam referensi-referensi lain yang bebas berkeliaran di jagad maya internet, yang mungkin membantah validitas bahan kuliah yang saya sampaikan. Mengapa tidak? Saya bukan Tuhan. Saya bisa salah. Mereka pikir sayalah kebenaran itu. Atau jangan-jangan gaya mengajar saya yang mengesankan bahwa "sayalah kebenaran"? Hahahaha.....

Tetapi memang, kemerdekaan berpikir bukan berarti berpikir tanpa dasar. Ia adalah pola pikir yang dibangun atas fakta-fakta ilmiah yang valid. Kemerdekaan berpikir memberikan interpretasi manusia atas fakta-fakta ilmiah tersebut. Saya ambil contoh Isaac Newton. Lihatlah bagaimana Newton memodelkan buah apel yang jatuh ke tanah dari pohon sebagai bukti eksistensi gaya. "Gaya" itu apa? Itu adalah model yang diusulkan (alias hasil interpretasi) Newton untuk merepresentasikan penyebab tarik-menarik antar benda. Lain Newton, lain Albert Einstein. Einstein memiliki interpretasi berbeda atas penyebab tarik-menarik tersebut: pembelokan ruang-waktu (stop! sampai di sini saya sudah tidak mengerti, hehehe...)

Entahlah. Yang paling jelas sekarang, tugas berat menanti di depan. Saya harus menanamkan "kemerdekaan berpikir", meskipun dalam bidang teknik yang secara natural lebih rigid daripada ilmu-ilmu non-eksak. Tetapi kemerdekaan berpikir itu sangat perlu. Bagaimana Anda bisa memecahkan masalah jika berpikir saja tidak merdeka? Terpaku pada doktriin-doktrin dan teori-teori yang falsifiable?

Kamu harus berpikir merdeka. Karena ketika kamu berpikir merdeka, maka kamu benar-benar sudah menjadi manusia. Dan tujuan pendidikan yang benar adalah membentuk manusia yang benar-benar menjadi manusia.

No comments:

Post a Comment