Saturday, February 7, 2015

(Lagi-lagi) Mobil Nasional

Program Mobil Nasional di Indonesia pertama kali muncul ketika dikeluarkannya Inpres Nomor 2 Tahun 1996 yang menunjuk PT Timor Putra Nasional yang dinakhodai Tommy Soeharto untuk mewujudkan satu produk Mobil Nasional. Sesuatu yang cukup kontroversial pada waktu itu, karena hubungan boss perusahaan dengan Presiden Soeharto (hubungan anak dan ayah), sehingga proyek ini diduga berbau KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Program Mobil Nasional menurut Inpres 2 Tahun 1996 ini memiliki beberapa ketentuan: harus mempunyai komponen lokal di tahun I sebesar 20%, tahun II sebesar 40%, dan tahun ketiga sebesar 60%. Sedemikian "mulia"-nya maksud dan tujuan program ini, yaitu memberi kesempatan unsur-unsur lokal terlibat dalam pembuatan mobil nasional, namun pada akhirnya Keppres nomor 42 tahun 1996 memperbolehkan PT Timor Putra Nasional mengimpor mobil dari luar dan diberi cap "Timor" [LINK]. Hal ini mengakibatkan banyaknya protes dari pemain-pemain penguasa pasar mobil di Indonesia karena melanggar ketentuan-ketentuan dari General Agreement of Tariff and Trade (GATT). Akhirnya inpres dan keppres ini pun dicabut dengan Keppres no. 20 tahun 1998 [LINK]. Kesimpulannya,  tidak ada lagi terminologi "mobil nasional" secara definitif (hukum).

Lalu apa yang terjadi dengan penandatanganan MoU antara PT Adhiperkasa Citra Lestari pimpinan Hendropriyono dengan Proton Holdings Berhad, Jumat, 6 Februari 2015 yang lalu? Menurut informasi dari Detikcom [LINK], penandatanganan MoU ini bertujuan untuk mengembangkan lagi mobil nasional, yang ternyata tidak ada lagi definisi hukumnya. Jadi yang harus digarisbawahi bahwa "Mobil Nasional" dalam hal ini bukan mobil nasional yang didefinisikan melalui inpres dan keppres tahun 1996 di atas. Ini menurut saya adalah terminologi informal dan mungkin tidak akan dibuatkan landasan hukumnya, mengingat monitoring dari kompetitor dan WTO (World Trade Organization).

Namun tidak adanya definisi hukum tentang "mobil nasional" dan juga profil Hendropriyono yang berperan penting dalam keberhasilan Jokowi menduduki tahta presiden menjadikan publik beropini bahwa ini adalah aktivitas "bagi-bagi jatah" dari Jokowi kepada para pendukung utamanya. Opini yang sangat wajar dan masuk akal, dan kemungkinan besar benar. Dan, saya sepakat dengan opini ini.

Tetapi saya sendiri tidak khawatir akan tindakan Jokowi ini, karena yang digandeng adalah Proton, yang sebenarnya memiliki tujuan mendapatkan pangsa pasar besar di Indonesia. Dengan kata lain, sebelum ini Proton tidak laku di Indonesia. Proton sedang melakukan jurus "Namanya juga usaha", kalau orang kita bilang. Ketidak-khawatiran saya yang kedua adalah sampai sekarang belum ada (semoga tidak ada) penerapan harga khusus bagi Proton, seperti harga murah, sehingga menjadi "mobil murah nasional". Tetapi kalaupun ada, saya juga tidak khawatir: Pasar yang berbicara. Sebagai pembanding, meskipun Agya dan Ayla didaulat sebagai mobil murah, saya tidak banyak melihat kedua mobil tersebut menguasai jalanan. Bahkan dalam seminggu belum tentu berpapasan dengan mobil Agya kecuali mobil saya sendiri (Agya).

Bahkan menurut saya, "jatah" yang diberikan Jokowi kepada Hendropriyono sudah tepat. Prinsipnya, "beri saja proyek tutup mulut. Proyek yang diberi juga bukan proyek mobil kelas atas." Secara politis sebaiknya begitu. Pendukung utama harus diberi "sumpalan" supaya tidak ngerecokin. Tetapi ini sekedar harapan saya. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan Presiden Jokowi.

Sedangkan bagi Proton, ini kesempatan bagus untuk membuka pasar di Indonesia. Tetapi pasar yang akan menentukan. Timor, sang mobil nasional era Soeharto, ternyata juga tidak laku-laku amat. Kalau Proton tidak belajar dari kesalahan Timor, mereka juga tidak akan mampu bersaing dengan pesaing-pesaingnya di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan kandungan lokal? Ya, karena secara hukum tidak ada lagi definisi "mobil nasional" yang mengatur tentang kandungan lokal, maka sebaiknya tidak usah berandai-andai tentang kandungan lokal pada pelaksanaan MoU ini. MoU ini hanya kompensasi politik.

Lalu bagaimana dengan transfer teknologi? Saya tidak pernah percaya adanya transfer teknologi tanpa usaha. Usaha itu antara lain riset teknologi secara mandiri ataupun stealing teknologi secara mandiri. Jadi lupakan masalah transfer teknologi pada MoU ini, meskipun mungkin dalam klausulnya ada transfer teknologi.

Jadi, apa yang terjadi pada penandatanganan MoU ini. Jelas: kompensasi politik. Dan menurut saya, selama tidak ada gangguan terhadap pasar dari Pemerintah, misalnya munculnya Inpres dan Keppres, atau malah Undang-undang, kita tidak perlu terlalu heboh. Bikin landasan hukum yang mirip-mirip Inpres no. 2 tahun 1996? Mau "dijewer" WTO lagi? Dan sekali lagi, pasar berbicara.

No comments:

Post a Comment